Bagi mereka yang sudah pernah pergi ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji maupun umrah, pasti akan merasa ‘kangen’ dengan Masjidil Haram.
Mereka akan merasakan getar-getar rindu yang teramat besar. Karena Masjidil Haram memiliki ‘aura’ yang sangat luar biasa.
Bisa melihat Ka’bah yang selama ini menjadi kiblat bagi umat muslim sedunia, apalagi melihat dengan mata telanjang. Ditambah bisa memegang, menyentuh, meraba kiswah Ka’bah. Hati ini merasakan ketenangan dan kedamaian.
Bagi saya yang baru pertama kali ke sana, hal yang sangat diingat dan ingin dilihat pertama kali oleh mata saya adalah saat melihat menara Masjidil Haram dari kejauhan, saat memasuki kota Makkah. Juga saat mendekati Masjidil Haram ketika melaksanakan ibadah umrah.
Kebetulan saya tiba di kota Mekkah saat malam hari pukul 22.30 waktu setempat. Setengah jam kemudian, bersama kawan-kawan dari travel yang sama bergerak menuju Masjidil Haram. Semakin dekat, hati ini semakin bermunajat. Subhanallah. Itulah ucapan kami rombongan jamaah umrah yang berjumlah delapan puluhan orang.
Terlihat Masjidil Haram bermandikan cahaya putih! Dan kebanyakan, rata-rata jamaah umrah akan memasuki kota Makkah malam hari, dini hari, ataupun menjelang shubuh. Siapapun yang melihat Masjidil Haram, hatinya akan bergetar, dan mengucapkan, Subhanallah.
Terlihat ustad Zubair Suryadi dan ustadz Asep, muthowwif atau pembimbing dari Gema Shafa Marwa (GSM) terlihat sudah menunggu bersama jamaah umrah lainnya beberapa meter dekat pintu masuk King Abdul Aziz. “Bapak, Ibu, para tamu Allah, alhamdulillah, Masjidil Haram sudah terlihat bersinar terang, putih bersih…”, begitu kata ustad Zubair Suryadi.
Seluruh jamaah yang berjumlah 84 orang, langsung bertasbih, mengucap kalimat talbiyah, bershalawat, dan sebagian besarnya akan menangis, tanpa diminta. Karena bagi saya, tidak menyangka, sudah sampai di depan Masjidil Haram, dan sebentar lagi akan melihat Ka’bah dari dekat.
Rombongan jamaah umrah, dalam keadaan berpakaian ihram, pintu Masjidil Haram sudah di depan mata. Warna keramik, lalu lalangnya jamaah umrah, baik pria maupun wanita, karpet masjidil haram, juga ornamen-ornamen di dalamnya, masih bisa diingat dengan jelas sampai sekarang.
Setelah memasuki pintu Masjidil Haram dari pintu King Abdul Aziz, kita akan melewati deretan galon air zamzam. Subhanallah, Alhamdulillah, Laa Ilaha Illallah, Allahu Akbar. Di tengah Masjidil Haram, berdiri Ka’bah dengan sejuta pesonanya. Terlihat juga kiswah hitam menyelubungi Ka’bah. Berdegup jantung kami semua memandangnya.
Hanya beberapa meter terlihat bangunan Ka’bah, terdengar kemudian ustad Zubair Suryadi mengucapkan doa ketika melihat Ka’bah. Bagi saya dan sebagian jamaah umrah lainnya, doa yang dipanjatkan itu semakin membuat mata kami semua tambah berlinang.
Doa yang cukup syahdu terdengar di telinga, air mata saya pun langsung meleleh. Sebelumnya, saya hanya melihat di teve saat ada siaran salat Tarawih, namun kali ini benar-benar nyata, dan ada di hadapan saya, jaraknya hanya beberapa meter saja.
Mungkin saja buat jamaah yang belum pernah melihat Ka’bah, masuk kota Suci Makkah, masya Allah. Air mata ini pasti akan menetes. Selanjutnya, ucapan kalimat “Labbaik Allahumma labbaik, Labbaika la syarika laka Labbaik. Innal hamda, wanni’mata laka wal mulk. La syarika lak” terdengar bersahutan. Lautan manusia mengucapkan kalimat talbiyah ini. Allahu Akbar...Walillahilhamdu.
Air mata saya bersama jamaah lainnya, makin deras mengalir saat melantunkan ayat suci di depan Kabah beberapa jam sebelum adzan salat subuh berkumandang. Kesempatan berumrah saat itu saya manfaatkan betul bersama kawan-kawan yang ikut bareng umrah.
Saya lebih sering berada di masjid untuk beribadah ketimbang di hotel tempat menginap yang letaknya sekitar 400 meter jauhnya. Kesempatan berdoa pun tak saya sia-siakan, berdoa di tempat-tempat tertentu di sana sangat besar kemungkinannya dikabulkan Allah SWT. Meskipun, sebetulnya memanjatkan doa bisa dilakukan di mana saja.
Hal yang pertama saya panjatkan doa adalah agar keluarga diberikan keberkahan dan anak-anaknya jadi anak saleh salehah dan berguna bagi agama dan dakwah.
Selanjutnya doa-doa titipan dari kawan-kawan yang menitipkan doa juga berdoa agar lembaga tempat saya berkarya diberikan kemudahan dalam membantu sesama yang membutuhkan.
Waktu berniat sama seorang kawan untuk dapat mencium Hajar Aswad, misalnya, sulitnya bukan main karena banyak orang yang juga mau menciumnya. Belum lagi saat keluar dari situ karena melawan arus orang-orang yang datang. Apalagi jika niat kita kurang ikhlas dan kuat kepada Allah SWT, pastinya kita tidak akan pernah bisa mencium Hajar Aswad.
Saat sedang berdesak-desakan bersama kawan yang memang berlainan arah jalannya, seorang pria bertubuh tinggi besar, memakai pakaian ihram, mengucapkan doa talbiyah serta berjanggut lebat dengan senyuman tulusnya mendorong saya dan otomatis saya mendorong teman di depan sampai di depan Hajar Aswad, sehingga kawan dan saya pun bisa menciumnya tanpa kesulitan.
Namun sewaktu saya selesai mencium Hajar Aswad dan membalikkan badan, orang tinggi besar yang mendorong pundak saya itu sudah tidak ada, padahal saya belum sempat mengucapkan terima kasih.
Sepertinya, ia orang dari Afrika, walaupun ia mengucapkan kata-kata dalam bahasa Indonesia, "Ayo maju-maju, cium Hajar Aswad yang lama". Dalam hati sayapun mengucapkan terima kasih. Akhirnya setelah mencium Hajar Aswad saya salat sunah dan memanjatkan doa untuk orang itu.
Saya berharap dan berdoa semoga bisa pergi ke tanah suci kembali, ikut tawaf. Merasakan berdoa di Multazam. Bisa menyentuh dan mencium Hajar Aswad. Bisa berdoa di dekat Maqam Ibrahim, dan di tempat-tempat mustajabah.
Tidak ada yang tidak mungkin, jika Allah SWT berkehendak. Perbanyak berdoa, rajin bersedekah, dan berdoa kepada Allah SWT agar dimudahkan bisa pergi umrah, apalagi bisa pergi haji, menyempurnakan Rukun Islam kelima. Lebih khususnya lagi di waktu-waktu Ramadhan. Bisa tarawih, tahajud, dan witir di Masjidil Haram. Subhanallah. Allahu Akbar. Hasbunallah Wani’mal Wakil.
0 komentar:
Posting Komentar