Minggu, 06 Januari 2013

Mencari Mutiara di Dasar Hati

Buku ‘Mencari Mutiara di Dasar Hati’ merupakan kumpulan artikel dari rubrik 'Ruhaniyat' majalah Tarbawi yang sangat istimewa.

Ketika artikel dari rubrik tersebut dihimpun menjadi 'sebuah buku' hasilnya, sungguh luar biasa! Betapa kita dapat berkaca dengan isi demi isi dari buku ini.

Sungguh menyentuh bagi kita yang memang benar-benar masih peduli dengan kemurnian hati.

Dipadu dengan sumber dari Alquran serta hadits dari Rasulullah SAW, sirah Nabi-Nabi ataupun para sahabat Radiyallahu Anhu. Selamat Membaca.

“Jika engkau menghadapi dunia dengan jiwa lapang, engkau akan memperoleh banyak kegembiraan yang semakin lama semakin bertambah, semakin luas, duka yang makin mengecil dan menyempit. Engkau harus tahu bahwa bila duniamu terasa sempit, sebenarnya jiwamulah yang sempit, bukan dunianya” (Ar Rafi’I, Wahyul Qalam, 1/50)

Biduk kebersamaan kita terus berjalan. Dia telah menembus belukar, menaiki tebing, membelah laut. Adakah diantara kita yang tersayat atau terluka? Sayatan luka, rasa sakit, air mata adalah bagian dari jalan yang sedang kita lalui. Dan kita tidak pernah berhenti menyusurinya, mengikuti arus waktu yang juga tak pernah berhenti.

Kita tak pernah berhenti karena menderita oleh keadaan seperti itu. Di jalan ini, “Rasa sakit telah menjadi kenikmatan, pengorbanan menjadi indah dan jiwa menjadi tidak berharga”. Kata itu yang pernah diucapkan seorang pejuang Palestina terkenal yang telah gugur, Mahmud Abu Hanud. Tujuan yang kita tetapkan dalam kebersamaan terbukti telah menjadikan kita lebih kuat, tabah, kokoh menghadapi rintangan apapun juga.

Dalam perjalanan dakwah yang panjang, kita memerlukan satu bekal yaitu sikap lapang dada, nafas panjang dan mudah memaafkan. Seperti orang-orang shalih terdahulu yang tak peduli dengan suasana getir yang mereka terima dalam menjalankan ketaatan. Seperti para pejuang yang tak pernah tersengal-sengal oleh kejaran musuh-musuhnya di Jalan Allah. Seperti Rasulullah SAW yang tak pernah merasa tertekan dengan penghinaan atau cacian orang-orang sekirarnya, dalam menjalani misi kenabiannya.

Sungguh luar biasa sikap orang-orang shalih dalam memandang dan mengukur penghinaan orang lain terhadap dirinya. Ibrahim An Nakh’I, suatu hari berjalan bersama sahabatnya, seorang buta. Setelah beberapa lama menyusuri jalan, orang buta itu mengatakan, “Ya Ibrahim, orang-orang yang melihat kita mengatakan, “itu orang buta dan pincang”. Ibrahim dengan tenang lalu mengatakan, “Kenapa engkau begitu terbebani memikirkannya? Jika mereka berdosa karena menghina kita sedangkan kita mendapat pahala, lalu kenapa?

Fudhail bin Iyadh, tokoh ulama yang terkenal ketaqwaannya di zaman generasi Tabi’in bercerita bahwa suatu ketika saat berada di Masjidil Haram, ia didatangi seseorang yang menangis. Fudhail bertanya, “kenapa engkau menangis?” Orang itu menjawab, “Aku kehilangan beberapa dinar dan aku tahu ternyata uangku dicuri”.

Fudhail mengatakan “Apakah engkau menangis hanya karena dinar? Sungguh mengejutkan jawaban orang itu. Ia menjawab, ”Tidak, aku menangis karena aku tahu bahwa kelak aku akan berada di hadapan Allah, dengan pencuri itu. Aku kasihan dengan pencuri itu, itulah yang menyebabkan aku menangis…”

Mereka yang dirahmati Allah, menyikapi berbagai persoalan dengan lapang dada. Mungkin saja mereka berduka, bersedih, kecewa atau barangkali tersulut sedikit kemarahannya. Tetapi mereka berhasil menguasai hatinya kembali. Hati mereka tetap ridha, mata mereka tetap teduh, ketenangan mereka sama sekali tidak terusik. Betapa indahnya.

Kisah-kisah itu harusnya membuat kita mengerti bahwa jika kita tidak lapang dada dan tidak mudah bersabar, kita pasti akan menjadi orang yang paling menderita didunia ini sebab penderitaan terbesar adalah jiwa yang cepat goyah dan bimbang saat menghadapi sesuatu yang sebenarnya remeh.

Penderitaan paling berbahaya adalah ketika tujuan hidup kita yang demikian agung, terbentur oleh keadaan hidup yang sesungguhnya sepele. Persoalan remeh, yang kita lihat secara keliru, kemudian mengakibatkan sempitnya dada, nafas tersengal, kesal hati, murung wajah, hati yang bergemuruh duka cita hingga istirahat terganggu, pikiran tidak tentu arah.

JIka itu yang terjadi, takkan ada amal-amal besar yang bisa dilakukan. Lantaran amal-amal besar hanya lahir dari jiwa yang tenang, hati yang lapang, penuh ridha, pikiran yang jernih. Itu sebabnya Syaikh Musthafa Masyhur mensyaratkan sifat ‘nafasun thawiil’ atau nafas panjang yang harus ada dalam diri pejuang Islam. Baginya, jalan perjuangan yang terjal dan panjang tak mungkin bisa dilewati oleh orang-orang yang ber’nafas pendek’ alias mudah goyah dan tidak sabar.

Apa rahasia lapang dada yang dimiliki para salafushalih itu? Kenapa mereka tetap memiliki bashirah yang terang dalam menghadapi persoalan hidup? Salahsatunya karena wawasan hidup mereka yang luas. Orang yang sempit wawasan adalah orang yang takut dengan perkara-perkara kecil, sangat takut dengan peristiwa remeh dan mudah marah dengan kata-kata yang tidak berkenan di hatinya.

Seseorang bahkan bisa sampai terbakar puncak kemarahannya disebabkan peristiwa yang sebenarnya bisa dilewati dengan memejamkan mata. Bahkan bisa dilewati dengan senyum bila dibarengi dengan sedikit berpikir lapang dada.

Kita bisa seperti mereka. Jika kita tahu dan sadar ada sasaran besar dan tujuan maha agung yang akan kita capai bersama di ujung jalan ini. Ada yang maha penting dari peristiwa-peristiwa apapun dijalan ini. Ada yang maha mulia dari berbagai kejadian-kejadian apapun di jalan ini.


Diringkas oleh: Cecep Y Pramana 
Dari buku: “MENCARI MUTIARA DI DASAR HATI” Catatan Perenungan Ruhani Seri I, karya: Muhammad Nursani (Tarbawi Press)


0 komentar:

Posting Komentar