Sabtu, 12 Januari 2013

Berumah Tangga Dimulai dari Ijab Kabul

Awal kehidupan berumah tangga sepasang suami istri dimulai dari ijab kabul. Saat itulah yang haram bisa jadi halal, atau sebaliknya yang halal bisa jadi haram. Demikianlah Allah SWT telah menggariskan sekaligus menetapkan ijab kabul dalam pernikahan, walau hanya beberapa patah kata dan menit saja, namun ternyata bisa mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram.

Saat akan melakukan ijab kabul terdapat mempelai pria, mempelai wanita, penghulu serta saksi-saksi dari kedua belah pihak. Setelah itu ijab kabul pun dilaksanakan. Maka, keduanya akan sah menjadi pasangan suami isteri.

Lalu, status keduanya pun berubah. Yang pria menjadi suami, dan wanita menjadi istri. Yang tadinya kita tidak mengenalnya, kini menjadi istri, dulu biasa saja terhadapnya, tiba-tiba kini jadi istri, tadinya tetangga rumah tiba-tiba jadi isteri. Itulah karunia Allah SWT bernama jodoh, dan hanya Allah SWT sajalah yang mengetahui misteri jodoh itu, dan manusia hanya ikhtiar untuk mendapatkannya.

Orang tua kita pun, yang tadinya sepasang, saat itu bertambah pula sepasang, dialah orang tua isteri (baca; mertua). Karenanya, bila seseorang ingin berumah tangga dan ternyata dia belum siap, apalagi tidak mengerti bagaimana memposisikan dirinya, maka rumah tangganya hanya akan menjadi awal datangnya aneka masalah, masalah dan masalah.

Apabila seorang suami tidak mengetahui dan sadar bahwa dirinya telah beristeri (baca; mempunyai istri), lalu terus bersikap seperti orang yang belum beristeri, maka hal itupun akan jadi masalah. Dia (baca; suami) juga punya mertua. Mereka, juga menjadi bagian yang harus disadari oleh suami.

Selanjutnya, pernikahan itu akan berjalan setahun, dua tahun bahkan lebih dalam mahligai rumah tangga. Jika Allah SWT mengizinkan mempunyai anak, berarti akan bertambah lagi statusnya sebagai seorang Bapak. Dihadapan mertua menjadi anak, ke isteri jadi suami, dan ke anak jadi bapak.

Mari kita bayangkan, begitu banyak status yang disandang yang jika kita (baca; suami) tidak tahu ilmunya, justru status ini akan membawa mudharat bukannya manfaat. Karenanya, menikah (berumah tangga) itu tidak semudah yang diduga, pernikahan yang tanpa di dasari ilmu berarti siap-siap untuk segera mengarungi aneka masalah dan derita.

Kenapa ada seorang suami yang stress di dalam rumah tangganya? Hal ini terjadi karena ilmunya tidak memadai dengan masalah yang dihadapinya. Begitu pula bagi seorang wanita yang ingin menikah, dia akan menjadi seorang isteri. Tentu saja tidak bisa sembarangan jika sudah menjadi seorang isteri, karena memang telah ada ikatan tersendiri.

Statusnya yang bertambah menjadi istri, jadi anak dari mertua, ketika punya anak jadi ibu. Demikianlah, Allah SWT telah menjadikan sedemikian rupa sehingga suami dan isteri, keduanya mempunyai peranan yang berbeda-beda, namun satu tujuan, satu cita-cita, menjadikan rumah tangganya, pernikahannya, menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah (SAMARA).

Tidak perlu sang isteri menuntut emansipasi, karena memang tidak perlu ada emansipasi. Yang diperlukan di dalam berumah tangga adalah saling melengkapi, saling berkomunikasi. Seperti halnya sebuah gedung yang menjulang tinggi, ternyata gedung tersebut dapat berdiri kokoh, tegak, karena adanya prinsip saling melengkapi. Ada semen, batu bata, pasir, beton, kayu, dan bahan-bahan bangunan lainnya, lalu bergabung dengan serasi, tepat sesuai dengan posisinya sehingga kokohlah bangunan itu.

Begitu pula halnya dengan rumah tangga, jika sang suami tidak tahu akan posisinya, tidak tahu hak dan kewajiban, begitu juga isteri tidak tahu posisinya, anak tidak tahu posisinya, mertua tidak tahu posisinya, maka akan seperti bangunan yang tidak diatur komposisi bahan-bahan pembangunnya.

Dia akan segera runtuh berkeping-keping. Begitu pula jika mertua tidak pandai-pandai menjaga diri, contohnya dengan campur tangan langsung terhadap kehidupan rumah tangga anak, maka sang mertua sebenarnya tengah mengaduk-aduk rumah tangga anaknya sendiri.

Seorang suami juga harus sadar bahwa dia adalah pemimpin dalam rumah tangga. Allah SWT berfirman: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian dari mereka (laki-laki) atas sebagian yang lainnya (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta’at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS An Nisa: 34)

Dan seorang pemimpin hanya akan jadi pemimpin jika ada yang dipimpinnya. Artinya, jangan merasa lebih dari yang dipimpin (baca; suami merasa lebih dari istri). Seperti halnya seorang presiden, tidak usah sombong kepada rakyatnya, karena jika tidak ada rakyatnya, lalu dia mengaku seorang presiden, maka bisa dianggap orang gila. Makanya, presiden jangan merendahkan rakyat, karena dengan adanya rakyat dia jadi presiden.

Sama halnya dengan seseorang yang menghina tukang jahit, padahal bajunya sendiri dijahit, “Tukang jahit itu adalah pegawai rendahan”. Padahal jika bajunya tidak dijahit oleh tukang jahit, tentu dia akan repot menutup auratnya. Dia dihormati karena bajunya diselesaikan tukang jahit.

Tidak layak seorang pemimpin merasa lebih dari yang dipimpin (baca; suami terhadap istri), karena status pemimpin itu ada, jika ada yang dipimpinnya. Misalkan saja di dalam rumah tangga, seorang isteri bergelar master dan lulusan luar negeri, sedangkan suaminya hanya lulusan sekolah menengah saja.

Dalam hal kepemimpinan dalam rumah tangga, tidak bisa jadi berbalik, isteri menjadi pemimpin keluarga. Kasus lainnya, misalkan saja di salah satu perusahaan terkenal, tempat suami istri itu bekerja, sang isteri jadi atasan, dan suami kebetulan menjadi stafnya. Saat dirumah beda urusannya, seorang suami tetaplah pemimpin bagi isteri dan anak-anaknya.

Karenanya, bagi para suami jangan sampai kehilangan kewajiban sebagai seorang suami. Suami adalah tulang punggung keluarga, seperti pilot bagi pesawat terbang, nakhoda bagi kapal laut, masinis bagi kereta api, sopir bagi angkutan kota, bus. Demikian pula sang suami adalah seorang pemimpin bagi keluarga yang dipimpinnya.

Sebagai seorang pemimpin, suami harus berfikir bagaimana mengelola dan mengatur bahtera keluarga yang bernama rumah tangga ini mampu berlayar dalam mengarungi badai gelombang yang siap menerjang, agar dapat sampai dengan semua awak kapal lainnya untuk tiba di pelabuhan dan pantai harapan, suatu tempat di akhirat nanti, yakni syurga.

Karenanya, seorang suami harus tahu ilmu bagaimana mengarungi dahsyatnya rumahtangga berupa badai, ombak, dan pusaran air kehidupan agar selamat dan tiba di pantai harapan. Tidak ada salahnya ketika menjelang pernikahan, kita merenung sejenak, “Saya ini sudah punya ilmu dan kemampuan belum untuk menyelamatkan anak dan isteri dalam mengarungi bahtera kehidupan rumah tangga, sehingga bisa kembali ke pantai harapan nanti?”

Yang perlu kita perhatikan, menikah bukan hanya masalah mampu mencari uang, walaupun hal ini juga penting, namun bukan salah satu yang terpenting. Suami bekerja keras membanting tulang peras keringat, namun ternyata tidak melaksanakan shalat, sungguh sangatlah rugi.

Buat kita (baca; suami) mencari nafkah termasuk dalam proses mengendalikan bahtera rumah tangga. Tidak lain hanyalah agar makanan yang jadi keringat kita berstatus halal, agar baju yang dipakai berstatus halal, jika membeli buku juga dari rezeki yang statusnya halal.

Ketika ijab kabul, seorang suami harusnya bertekad, “Saya harus mampu memimpin rumah tangga ini mengarungi rangkaian hidup bahtera yang hanya sebentar saja di dunia, agar seluruh anggota awak kapal dan penumpang bisa selamat sampai tujuan akhir, yaitu syurga”.

Bahkan jika di dalam bahtera (baca; kapal) ikut penumpang lainnya, misalkan pembantu, saudara atau yang lainnya, maka sebagai pemimpin tugasnya juga sama, yaitu membawa mereka ke tujuan akhir yang sama, yaitu syurga.

Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. (QS. At-Tahriim: 6)

Inilah suami yang baik, pemimpin ideal, yaitu pemimpin yang selalu bersungguh-sungguh mau memimpin dan memajukan setiap orang yang dipimpinnya. Siapapun orangnya didorong agar menjadi lebih maju. Subhanallah. Wallahu’alam


0 komentar:

Posting Komentar