Tidak mudah untuk memasuki hati manusia. Karena ia adalah ruang yang sangat luas. Ruang itu punya pintu dan pintu tersebut ada kuncinya.
Kunci itu juga punya mata kunci. Untuk menebarkan hidayah dan cahaya Ilahi ke dalam hati manusia bukanlah pekerjaan mudah.
Itulah rahasianya mengapa Rasulullah SAW mengatakan, “Bila ada orang yang melalui perantara dirimu Allah SWT memberinya hidayah, maka itu jauh lebih baik daripada dunia dan seisinya”.
Buku “7 Tahapan Dakwah Fardiyah” ini menceritakan kepada kita bagaimana kiat dan langkah-langkah memasuki hati, dalam sebuah amal yang unik. Terkadang mudah, namun di lain kesempatan begitu sulit. Terkadang berat, namun sesaat bisa menjadi ringan. Karena ia memang unik, itulah dakwah fardiyah.
Buku itu ditulis oleh orang yang tidak saja matang secara konsepsi, tapi lebih jauh ia menghabiskan hari-harinya hingga kini dalam belantara dakwah yang pekat dengan suka dan duka. Itulah yang membuat buku ini begitu bertenaga, mengalir, namun pada saat yang sama sangat aplikatif.
Dakwah Fardiyah adalah dakwah dengan pendekatan personal atau pribadi kepada objek dakwah. Dakwah fardiyah hanyalah salah satu aspek dari sekian banyak aspek dalam berdakwah, seperti dakwah melalui tulisan, dakwah dengan ceramah, tabligh dan lain sebagainya.
Keungulan dakwah fardiyah dibandingkan dengan metode dakwah lainnya adalah dakwah dengan metode ini bisa dilakukan kapanpun dan dimanapun. Hasilnya pun bisa lebih dipantau dan bisanya output yang dihasilkan jauh lebih berkualitas dibandingkan dakwah dengan metode lainnya.
Bagaimana selanjutnya tahap-tahap dakwah fardiyah itu?
Dan apa-apa saja yang diperlukan di dalamnya?
Pertama, membina hubungan yang baik dengan objek dakwah. Membina hubungan yang baik dengan objek dakwah, merupaka tahapan yang paling menentukan. Karena disinilah akan tercipta keterikatan hati (taliful qulb) antara sang da’i dengan objek dakwahnya.
Karena itulah tahap ini diletakkan pertama kali dalam tahapan dakwah fardiyah ini. Bila sudah tercipta keterikatan hati maka akan sangat mudah bagi kita “memasukkan” materi-materi atau nilai-nilai yang ingin kita dakwahi.
Kedua, membangkitkan keimanan yang mengendap dalam jiwa. Hal pertama kali yang terus ditanam oleh Nabi SAW kepada para sahabat adalah tauhidullah, keimanan yang kokoh kepada Allah. Tidak bergantung kepada selain Allah SWT. Hal ini bisa dilakukan dengan mengingatkan objek dakwah akan kebesaran dan nikmat-nikmat Allah yang bertebaran disekitarnya. Atau cara-cara lain yag sesuai dengan kondisi objek dakwah yang bersangkutan.
Ketiga, membantu memperbaiki keadaan dirinya dengan ibadah-ibadah yang diwajibkan. Selanjutnya, saat keimanan telah tumbuh, maka da’i harus mulai memperhatikan baik kuantitas maupun kualitas ibadah objek dakwahnya. Karena dengan ibadah-ibadah yang disyariatkan Islam inilah seseorang bisa semakin dekat kepada Rabbnya dan semakin memperkokoh keimanan yang telah mulai tumbuh. Perhatikan, masalah ibadah disini hanya menyangkut ibadah mahdah atau ibadah ritual bukan ibdah secara umum.
Keempat, menjelaskan tentang kesyumulan ibadah, bahwa ibadah tidak hanya terbatas pada ritual-ritual shalat, puasa, zakat, dan haji saja. Akan tetapi aktivitas apapun yang dilakukan selama itu diniatkan karena Allah SWT, maka aktivitas tersebut adalah ibadah. Dengan demikian objek dakwah semakin merasa bahwa dirinya selalu diawasi oleh Allah SWT dan mulai merasakan lezatnya iman dan ibadah kepada Allah. Iman dan jiwanya menjadi hidup.
Kelima, menjelaskan kewajiban berdakwah kepada sesama muslim. Bahwa keberagamaan kita tidak cukup hanya dengan keislaman kita sendiri. Pada tahap inilah objek dakwah mulai berganti “status” menjadi subjek dakwah. Objek dakwah mulai dikenalkan bahwa berislam dan menjadi shaleh tidak cukup dinikmati sendiri. Tetapi Allah SWT telah memerintahkan kepada kita untuk berbuat amar makruf nahi munkar. Disini juga mulai dikenalkan mengenai urgensi berdakwah kepada objek dakwah.
Keenam, menjelaskan bahwa kewajiban diatas tidak mungkin dilaksanakan secara individu (Infiradhi) tetapi harus dilaksanakan secara kolektifitas berjamaah (Amal Jama’i). Setelah itu objek dakwah juga mulai diperkenalkan dengan amal jama’i. Bahwa beban dakwah ini tidak mungkin dapat dipikul seorang diri. Tidak mungkin seorang menjadi “superman” dakwah tetapi yang ada adalah “supertim” dakwah yang bekerja dalam keteraturan dan harmonisasi kerja.
Ketujuh, mengenalkan dengan jamaah mana ia harus bergabung dan memberikan kontribusinya untuk keberlangsungan dakwah Islam. Ada beberapa karakteriskitik jamaah yang pantas dan benar untuk kita memberikan afiliasi kita kepadanya diantaranya adalah jamaah yang megikuti manhaj (metode) Rasullullah dalam dakwahnya, yaitu mempersiapkan seorang muslim untuk memiliki akidah yang kokoh, ibadah yang benar dan akhlak yang mempesona.
Disamping itu jamaah tersebut haruslah mengambil islam secara utuh dan integral, tidak parsial atau setengah-setengah. Begitu pula dalam melaksanakan islam. Selain itu jamaah yang patut diikuti adalah jamaah yang terorganisir dengan baik. Program-programnya teratur dan terencana sehingga mungkin untuk dilaksanakan.
Dalam melakukan dakwah fardiyah, ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan para pelaksana dakwah fardiyah. Pertama, harus dilakukan secara tertib dan berurutan. Menyalahi urutan tahapan dakwah, dapat menyebabkan penolakan objek dakwah terhadap pesan-pesan dakwah. Kedua, janganlah terburu-buru dan tergesa-gesa dengan ingin melihat hasil bukan proses yang di jalankan.
Hanya karena ingin objek dakwah sampai kepada tahapan yang lebih tinggi, seorang da’i lalu bertindak gegabah dalam meningkatkan tahapannya. Padahal ia belum mempunyai keyakinan dan penerimaan yang sempurna terhadap setiap tahapan yang dilalui.
Ketiga, jalan dakwah Islam harus benar-benar bersih. Bersih seluruh prasyaratnya dari prasangka negatif, bersih seluruh amal Islamnya dari nilai-nilai syubhat, dan tentunya bersih pengembannya dari maksiat. Wallahua'lam
Diringkas oleh: Cecep Y Pramana
Dari buku: “7 Tahapan Dakwah Fardiyah” karya: Syaikh Mushthafa Masyhur (Al I’tishom Cahaya Umat, 2001)
0 komentar:
Posting Komentar