Senin, 17 Desember 2012

Duhai Istri: Jalan Meraih CahayaNya

Siapakah engkau, wahai istri, yang menyelinap ke dalam kehidupanku? Kita berdua hadir dari dimensi ruang dan waktu yang berbeda. Bahkan, kita saling tidak mengenal satu sama lain. Namun, mengapa disaat berjumpa, seketika kita saling mempercayai untuk membangun biduk kebersamaan, dalam perjalanan rumah tangga?

Sungguh, begitu mulia, mahligai pernikahan. Pernikahan membuat kita saling terbuka, saling mempercayai satu sama lain. Tak mengherankan, bila Allah SWT menempatkan jodoh (penikahan) pada kelompok ilmu-Nya yang tak dapat disingkapkan secara pasti oleh manusia.

Bayangkan, jika jodoh seperti juga kematian (roh), menjadi ilmu terbuka bagi manusia. Pertanyaan selanjutnya, siapakah yang sudi memilih si-X yang masa kecilnya ‘kurang’ sebagai jodoh kita. Berbeda dengan malaikat, Allah SWT telah memberikan manusia hawa-nafsu, sekaligus perangkat untuk mengendalikannya. Nafsu biologis, misalkan, disalurkan melalui pernikahan bagi yang mampu, meniru Adam dan Hawa.

Istri-istrimu adalah lading bagimu, maka datangilah ladangmu kapan saja dengan cara yang kamu sukai. Dan utamakanlah (yang baik) untuk dirimu...” (QS Al Baqarah: 223). Begitu pentingnya mahligai pernikahan, hingga Allah SWT menurunkan pedoman bagi hambanya, seperti pada surah Al Baqarah.

Duhai istri, siapakah yang mengirimmu ke dalam kehidupanku? Pastilah Allah SWT jawabannya. Betapa Maha Pengasih Dia, yang memberikanmu sebagaimana ketentuannya agar mahluk hidup berpasang-pasangan. Namun, mengapa di tengah rasa superioritas kaum pria, seringkali kami lalai memahami bila istri merupakan 'pemberian' Nya? Betapa kami, para suami, lelaki yang merasa sangat super, seringkali menghanguskanmu ke dalam api kemarahan.

Adakah superioritas kaum lelaku terutama di masa ‘jahiliyah’, menyebabkan Allah SWT memberikan perhatian khusus terhadap kaummu dengan menurunkan surat An-Nisaa’ (wanita). Tak hanya sekadar tuntunan menikah untuk melahirkan. Di surat itu, Allah SWT memberikan pedoman tata cara memperlakukan kaummu, sebagai seorang istri. Hal ini agar kaummu terhindar dari egoisme dan superioritas kaum lelaki.

Di saat engkau berbaring di sisi tulang rusuk kiriku, betapa aku ingin merumuskan hakikatmu. Tapi, mengapa sulit merumuskanmu. Engkau, mahluk yang kuat ketika lemah, begitu manja ketika tegar. Engkau, bahkan, lebih kuat menanggung penderitaan ketika sendirian.

Sungguh, engkau wahai istri, berbeda dengan pria yang dicitrakan superior (adakah kekuatan pria justru menjadi kelemahan ketika dia ditinggalkan sendirian sehingga cenderung mencari kembali pasangan hidupnya demi menyokong superioritasnya?)

Namun, istri merupakan cobaan bagi suami. Tak mengherankan, jika Allah SWT menentukan posisi suami sebagai pemimpin bagi perempuan. Begitu juga memberikan pedoman terhadap muslim untuk mendapatkan istri yang tidak berasal dari kaum musyrik. “Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman...”. (QS Al Baqarah: 221)

Mengapa demikian? Karena engkau, istri bersama kaummu, mendapatkan kemuliaan disisi-Nya. Allah SWT punya rahman dan rahim. Perempuanlah yang memiliki (sifat) rahim. Di rahim, perlambang kasih, Allah SWT menumbuhkan janin. Dengan kasih dari pemilik rahim, anak-anak tumbuh, menjadi muslim dan muslimah.

Dengan anugerah kemuliaan semacam itu, kenapa masih ada perempuan alpa pada kesucian makna rahim, justru ketika memiliki rahim? “Sesungguhnya dunia seluruhnya harta dan sebaik-baiknya harta ialah wanita (istri) yang sholehah” (HR Muslim)

Betul, engkau adalah hanya seorang istri, bukan pemimpin utama. Namun, sesungguhnya engkau menentukan. Ketika hanya menjadi posisi pendamping sang suami. Engkau, disaat menjadi istri yang suci, semestinya menjadi pengawas suami saat keliru melangkah (baca; salah jalan).

Siapa yang dapat mengukur air matamu yang berderai di saat engkau berdoa memohon kepada Allah SWT agar menunjukkan jalan yang benar pada sang suami? Airmata yang selama ini dicitrakan sebagai kelemahan, justru menjadi kekuatan untuk mengembalikan suami (keluarga) ke jalan yang benar, jalan yang diridhoi-Nya.

Tapi, siapakah engkau, istri, yang menyelinap ke dalam kehidupanku? Istri yang suci justru merupakan “Jalan Cahaya” bagi para suami, menuju jalan-Nya. Kesucianmu menjadikan kriteria istri salihah sebagai pedoman, dan menjadi suar di tengah keluarga untuk membentuk dan meraih keluarga sakinah, mawaddah, warahmah (SAMARA).

Cahayamu menerangi perjalanan sang suami menuju pada-Nya. Kesabaran dan keikhlasanmu mengelola rumah tangga membuat para suami (keluarga) merasa khidmat untuk beribadah. Sebaliknya, istri-istri ‘musyrik’, bagai lorong gelap yang menyesatkan. Karena itu, wahai para istri, jadilah engkau suci untuk menjadi “Jalan Cahaya” bagi keluarga menuju surge-Nya.

Wahai istri, di saat engkau menjadi “Jalan Cahaya”, mengapa mesti menggantinya dengan yang lain? Bukankah sejatinya, aku mencintaimu karena cintaku pada-Nya yang memuliakanmu. Wahai istri yang suci, ‘Jalan Cahaya’ mu bisa menerangkan keluarga, menuju jalan kebaikan! Wallahua’lam.


:: tulisan ini juga dimuat di ISLAMEDIA


0 komentar:

Posting Komentar