Rabu, 21 Agustus 2013

Merasakan Hidup di Bawah Naungan Al Qur’an

Abu Talhah, suami Ummu Sulaim, suatu hari membaca Al Qur’an. Ketika sampai pada surat At Taubah ayat ke-41 yang berbunyi: “infiruu khifafawwatsiqaalan” (berangkatlah kamu sekalian dalam keadaan merasa ringan ataupun berat), lalu ia menghentikan bacaannya dan berkata, “Aku tidak berpendapat selain Allah SWT. Memerintahkan berangkat ke medan perang baik orang muda maupun sudah tua”.

Saat itu Abu Thalhah sudah berusia lanjut dan punya anak-anak berusia muda. “Wahai anak-anakku, tolong siapkan segala perlengkapan perangku!” perintah Abu Thalhah. Mendengar perintah yang serius itu, anak-anak Abu Thalhah yang juga ‘singa-singa’ Allah itu tersentak. Mereka menilai ayahnya terlalu tua untuk turut berperang. Mereka mencoba menahannya.

“Ayah, engkau telah berperang bersama Rasulullah SAW hingga beliau wafat. Engkau juga turut seta berjihad bersama khalifah Abu Bakar sampai beliau dipanggil Allah SWT. Dan engkau pun tak pernah ketinggalan dalam menegakkan kalimatullah bersama Umar bin Khattab sampai beliau pun meninggalkan kita. Oleh karena itu, sekarang cukuplah kami yang terjun ke medan jihad itu”.

Tak terlihat perubahan sikap pada diri Abu Thalhah. Bahkan selanjutnya dia berkata, “Wahai anak-anakku, tolong siapkan perlengkapan perangku. Tidakkah kalian tahu bahwa Allah SWT telah memanggil kita yang muda maupun yang tua dengan firmannya “infiruu khifafawwatsiqaalan”.

Akhirnya, Abu Thalhah pun berangkat. Pertempuran yang ia terjuni kali ini pertempuran laut. Dan beliau mendapat kemuliaan syahadah (mati syahid) di tengah lautan. Setelah perjalanan satu pekan di laut, baru kawan-kawannya menemukan dataran untuk mengebumikan jasad as-syahid. Yang luar biasa, sampai saat dikebumikan, tubuhnya tak berubah sedikitpun.

Itulah sosok mukmin yang telah menjadikan Al Qur’an sebagai panduan hidupnya. Jiwanya, pikirannya, dan seluruh tubuhnya telah benar-benar ‘dirasuki’ kalam ilahi. Orang seperti Abu Thalhah telah menjadi manusia yang hidup di ‘alam lain’. Ia tak lagi terbelenggu dengan jerat-jerat dunia. Ia telah menjadi manusia yang melayang-layang ke angkasa keimanan sehingga selalu siap menerima segalah titah dari Khaliqnya.

Seperti itu pulalah yang dirasakan Sayyid Quthb dalam interaksinya dengan Al Qur'an. Sayyid Quthb, seperti ungkapannya yang dituangkan dalam mukadimah Fii Dzilaalil Qur'an, merasakan hidup di bawah naungan Al Qur’an benar-benar penuh kenikmatan, keteduhan, kelapangan jiwa serta kemuliaan yang tiada taranya.

Ia merasa diangkat oleh Al Qur’an sedemikian tinggi di atas segala daya tarik dunia dan propaganda-propaganda murahannya. Ia telah diangkat sedemikian tinggi sehingga dapat melihat kedegilan orang-orang yang ingkar kepada Penciptanya. Ia melihat mereka bagaikan orang dewasa yang sedang memperhatikan bocah-bocah ingusan yang sedang bermain-main dengan lumpur.

Jika itu yang dirasakan Sayyid Quthb, maka sangat wajarlah jika ia lebih menyukai kematian mulia, syahadah, ketimbang harus menjadi budak penguasa yang zhalim. Dalam perjalanan sejarahnya, Al Qur'an berhasil menghidupkan umat-umat yang ‘mati’.

Betapa banyak manusia yang berhati sekeras batu, bengis, dan tak berperikemanusiaan, lalu tiba-tiba menjadi manusia yang gampang mengucurkan air mata di hadapan Penciptanya dan menjadi penegak keadilan yang tangguh.

Luar biasa memang Al Qur’an. Maha Besar Allah SWT yang telah berfirman: “Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) ruh (Al Qur’an) dengan perintah Kami”. (QS Asy-Syura: 52).



0 komentar:

Posting Komentar