Selasa, 02 Agustus 2011

‎~thats why they called SAHABAT/Friendship~

Idealnya, Tuhan telah menganugerahkan sepasang kuping untuk kita. Namun, tetap saja kita butuh sepasang kuping lainnya untuk membantu kita. We learn to listen, but we need to be listened too. Bukan meminta supaya ada yang mendengar ego kita, tapi lebih pada mendengar beberapa fragmen yang ada di d...alam hidup kita. Saya tahu bahwa God always listen to us, tapi… tetap saja saya masih membutuhkan sepasang kuping dan sebuah mulut yang dapat membangkitkan diri saya kembali. Bagi saya, satu-satunya orang yang tidak keberatan karena saya menyita waktunya tiba-tiba adalah sahabat saya.

Ya, sahabat. Kalau saya renungkan, saya bersyukur sekali mempunyai sahabat. Ternyata, beberapa orang di sekitar saya, ada yang belum menemukan sahabat sehingga masih mencari: “lalu saya mau bercerita kepada siapa?” Entahlah, mungkin ada yang berpikir, pacar lebih baik menjadi teman cerita daripada sahabat. Berhubung saya belum punya pacar, jadi.. saya masih berpendapat bahwa sahabat adalah yang terbaik. Dan kalaupun saya sudah punya pacar (mudah-mudahan si oji mau saya ajak pacaran! haha), sahabat pun masih menjadi tempat yang terbaik untuk saya, apalagi kalau lagi pengen ngomongin si pacar! :p

Sahabat.

Saya punya seorang sahabat sejak kelas 1 SMP dan beberapa sahabat lainnya dari SMA. Sahabat saya bermacam-macam, agamanya beda, rasnya beda, warna kulitnya beda, makanan kesukaannya beda, hobinya beda, konsentrasi studinya beda, apalagi bentuk fisiknya. Cuman ada satu kesamaan kami: KAMI SALING BERSAHABAT!

Sejak kami saling berpisah karena tempat institusi pendidikan kami berbeda, sahabat saya pun mempunyai sahabat selain saya. Saya pun mempunyai sahabat di kampus maupun di kost. Is it a problem? Jelas tidak! Semua berhak menjadi sahabat siapa saja, toh pada prakteknya… kita akan selalu memilih kepada siapa kita akan bercerita. Toh, pada praktiknya, para sahabat pun punya jatah cerita sendiri-sendiri. Inget teori komunikasi Coordinating Private Management, inget pula sama teori psikologi tentang jendelanya Johari. Gak semua hal kita perlu tau dan bahkan ada pula yang gak diketahui sama semua orang.

Sahabat.

Kami berjauhan. Dia di sana dan saya di sini. Bahkan, meski ada yang dalam satu wilayah, kami pun tidak sering bertemu dan berjalan-jalan ke mana-mana. Bahkan untuk sms-an saja, bisa dihitung dalam sebulan. Apalgi, kalau bertelepon-telepon ria. Mungkin, bagi sahabat-sahabat saya yang sudah punya pacara atau yang lagi bergebet-ria…, mereka lebih intensif untuk berkomunikasi dengan para gebetan dan pacarnya (ihiiiirrr!). Meskipun demikian, kami tetap merasa bahwa kami saling bersahabat. Seolah-olah, kami punya waktu tersendiri yang bisa membuat kami berkata: “Terimakasih Tuhan, Engkau telah memberikanku seorang sahabat seperti dia…” :)

Sahabat.

Sahabat yang saling mengingatkan. Sahabat yang memberi semangat, meski hanya dalam wujud rangkaian kata S-E-M-A-N-G-A-T. Sahabat yang tidak takut dijauhi karena pendapat yang berbeda. Sahabat yang berani memberi kritik dan solusi. Sahabat yang mau mendengarkan dan berbagi cerita. Sahabat yang saling percaya, nyaman, aman, dan bersahabat.

Sahabat.

Sekali lagi. Saya benar-benar bersyukur karena saya masih mempunyai sahabat dan saya tidak berharap bahwa sahabat saya akan pergi meninggalkan saya. Kalau katanya om Budiman Hakim, “it’s a good things if a stranger become a friend, but it’s a bad things if a friend become a stranger”. Saya tidak tahu persis kata-katanya… yang saya tau, saya tidak mau sahabat saya nantinya malah beralih peran seperti orang asing di hadapan saya. Saya tidak dapat membayangkan bagaimana diri saya kehilangan sahabat-sahabat saya.

“para sahabatku, terimakasih karena saya sering kali menyita waktu kalian tiba-tiba…”

0 komentar:

Posting Komentar