Kebanyakan imigran Tionghoa di Asia Tenggara - dan karena itu di Indonesia - berasal dari dua propinsi di Tiongkok bagian selatan: Kanton (Mandarin: Guangdong) dan Hokkian (Mandarin: Fujian). Di Indonesia pada khususnya, lebih banyak yang berasal dari propinsi Hokkian dibandingkan dari Kanton.
Maka di jaman Hindia Belanda bahasa yang digunakan sebagai lingua franca di antara orang Tionghoa ialah bahasa Hokkian. Belakangan setelah gerakan nasionalis tumbuh di Asia, dan gelombang imigrasi baru dari Tiongkok datang di tahun 1930-an ke Asia Tenggara barulah bahasa Mandarin diajarkan di sekolah-sekolah Tionghoa.
Sebenarnya yang disebut bahasa Hokkian itu dituturkan hanya oleh mereka yang tinggal di bagian selatan propinsi Hokkian, karena itu dalam sebutan standar bahasa tersebut disebut bahasa Minnan (Min = bangsa Hokkian, nan = selatan). Bahasa Minnan ini banyak juga variasinya, yang dituturkan di Medan, Penang, Taiwan, Amoy (Xiamen), Tiochiu (Chaozhou), dll., tetapi garis besarnya sama. Kalau seseorang dari Medan bicara bahasa Hokkian menurut dialeknya, orang Taiwan kurang lebih masih bisa mengerti, dan sebaliknya.
Kebanyakan imigran Tionghoa berasal dari dua propinsi di pantai tenggara: Fujian (Hokkian) dan Guangdong (Kanton). Akan tetapi di dua propinsi ini pun orang dan bahasanya tidak seragam.
Yang tidak banyak diketahui orang ialah perkecualiannya. Banyak orang Tionghoa di Indonesia yang berasal dari propinsi Hokkian juga, tapi bagian utara. Mereka ini bahasanya lain, yaitu bahasa Minbei (bei = utara). Penutur bahasa ini yang paling banyak tinggal di kota Fuzhou (baca: fu-chow, atau Hokchiu dalam bahasa Minnan) dan Fuqing (baca: fu-ching, atau Hokchia dalam bahasa Minnan).
Di Indonesia, lebih banyak orang Hokchia daripada Hokchiu. Sedangkan di Malaysia, terutama di Serawak, lebih banyak orang Hokchiu. Dialek Hokchia dan dialek Hokchiu hampir sama, hanya lagu/intonasinya yang berbeda. Karena kota Fuzhou lebih besar, yang lebih diakui lebih standar ialah dialek Hokchiu.
Bahasa Hokchia ini banyak menggunakan bunyi sengau. Misalnya, almarhum kakek saya (lahir sekitar 1910, datang ke Indonesian sekitar tahun 1930) dulu kalau berpura-pura marah suka memanggil saya ngong-ngiang (ngong = bodoh, ngiang = bocah), yang dalam bahasa Minnan/Hokkian kata padanannya mungkin ialah khong kia.
Orang Minnan kalau mau makan bilang cia-peng, orang Minbei bilang sia-mang. Kalau mau pamitan bilang gua seng kia, orang Minbei bilang ngua sieng kiang, yang berarti saya jalan dulu, ya. Dari bunyinya yang mirip-mirip ini kitorang tahu bahasa-bahasa tersebut masih basudara.
Sampai sekarang pun, orang-orang dari sekitar Hokchiu/Hokchia ini masih berdatangan ke mana-mana, sah atau gelap: Jepang, Amerika Serikat, bahkan sampai ke kepulauan kecil di Pasifik yang bernama Mariana Islands. Pernah saya ajak papa saya jalan-jalan ke gunung di dekat taman nasional Yosemite di California, untuk melihat pemandangan salju.
Kita mampir di kota kecil di kaki gunung yang namanya Sonora. Di sana kita mampir makan di dua restoran Chinese pada hari yang berlainan. Yang satu, Great Wall, milik orang Hokchiu. Yang lain, Wok and Sushi, milik orang Hokchia.
Papa saya yang lahir dan besar di Surabaya sampai terkaget-kaget, di kaki gunung terpencil pun, orang Hokchia/Hokchiu bisa sampai ke sana dan jadi pemilik restoran! Karena papa saya (usia di tahun 2009 = 70 tahun) lancar berbahasa Minbei, dia mengajak pelayan restoran Great Wall untuk ngobrol dalam bahasa ibu.
Dia tanya, bisa pesan makanan Hokchiu nggak? Dijawab, nggak bisa, karena di sini mereka masak untuk pelanggan yang kebanyakan orang "hua-ngiang" (dalam bahasa Hokkian "huana", artinya orang asli), jadi menunya yang umum-umum saja. Papa saya termenung sejenak, lho, kok di Sonora terpencil ini ? Akhirnya dia tersenyum sendiri, karena sadar yang disebut oleh pelayan tersebut sebagai orang asli ialah orang kulit putih.
Kota kecil Sonora di California pun, ada orang Hokchia!
Di Indonesia, banyak orang Hokchia yang sukses menjadi pengusaha, misalnya Liem Sioe Liong (Sudono Salim), Tjoa Ing Hwie (pendiri perusahaan rokok Gudang Garam di Kediri dan Rumah Sakit Adi Husada di Surabaya), dan Alim Markus (bos Maspion), semuanya orang Hokchia.
Ada juga yang jadi olahragawan, seperti bekas pemain dan pelatih bulutangkis nasional Thing Hian Houw (Tang Xianhu), yang karena PP 10/1959 pergi ke Tiongkok. Entah kenapa, para pedagang kain di Surabaya pun semua orang keturunan Hokchia. Orang Hokchia tentu membawa makanannya ke Indonesia. Misalnya roti bundar keras seukuran hamburger yang disebut kompiang (dalam bahasa Mandarin: guang bing. Ada kompiang kosong, dan ada kompiang isi (biasanya daging masak rumput laut). Kompiang kosong lebih keras, dan paling bagus dimakan kalau masih hangat. Biasanya kompiang ini ditaburi biji wijen, dimakan hangat-hangat, bunyinya kriuk-kriuk, wah. Di Amerika Serikat yang paling dekat dengan kompiang ialah sejenis roti yang dibawa oleh orang Yahudi, yang disebut bagel. Makanan lain yang disukai oleh orang Hokchia ialah Ote-Ote. Jaman saya masih kecil dulu (tahun 70-an), sebelum ada jalan tol Surabaya-Porong, ada restoran di pinggir jalan raya Porong yang menjual ote-ote yang sangat gurih dan terkenal. Namanya, ya Restoran Porong.
Yang suka makan, orang Tionghoa Surabaya yang dalam perjalanan ke Malang atau Batu untuk berekreasi. Gara-gara jalan tol, restoran tersebut jadi sepi, dan akhirnya dipindahkan ke kota Surabaya. Mungkin ada untungnya juga mereka pindah dari dulu-dulu, kalau tidak sekarang terkena bencana lumpur Lapindo.
Di keluarga saya, ada kombinasi favorit, yaitu kompiang keras, isinya yang lunak dikerok, kemudian dipanggang sampai hangat. Sudah begitu, dalamnya diisi ote-ote tiram goreng . mak nyuss katanya Bondan Winarno.
Makanan Hokchia favorit yang lain ialah bola-bola ikan (hie-wan). Tapi yang istimewa ialah hie-wan yang diisi daging. Bagian luarnya dari ikan terasa padat, bagian dalamnya daging cacah yang lembut, dan begitu digigit ada sedikit kaldu daging yang bocor dan terasa hangat di mulut. Dimakan dengan kuah yang ditaburi bawang hijau iris dan bawang goreng. Wah, sedap.
Selain orang Hokchia, orang Tionghoa dari propinsi Hokkian yang datang ke Indonesia ada juga yang berasal dari sekitar kota Putian, yang memanggil dirinya orang Hinghua (Mandarin: Xinghua). Bahasanya masih termasuk kelompok bahasa Min, tapi lain lagi dari bahasa Minbei/Hokchia dan bahasa Minnan/Hokkian, karena kota Putian ini ada di tengah-tengah propinsi antara Xiamen (pusat Hokkian selatan) dan Fuzhou (pusat Hokkian utara).
Menurut sahibul hikayat, orang Hinghua ini pada waktu datang di Malaysia dan Indonesia pertama kali menjadi penarik becak / rickshaw. Dari situ mereka berkembang menjadi pemilik bengkel sepeda, lalu mempelajari pembuatan onderdil becak dan sepeda, sampai akhirnya menjadi pemilik toko dan pabrik sepeda, hehehe. Tidak percaya? Coba ke jalan Bongkaran di Surabaya, tanyailah pemilik toko sepeda, pasti orang Hinghua. Tanya orang Tionghoa pemilik pabrik sepeda, kebanyakan pasti orang Hinghua.
Selama 18 tahun tinggal di Surabaya, jarang sekali saya bertemu dengan orang Kanton yang berbahasa Kanton, hanya ada satu-dua keluarga yang saya tahu. Pendatang dari propinsi Kanton yang paling banyak di Indonesia justru perkecualiannya, yaitu orang Hakka (Mandarin: Kejia).
Orang Khek ini menurut sejarahnya berasal dari Tiongkok utara (Tiongkok secara budaya dan geografis dibagi menjadi utara dan selatan oleh sungai Yang-tze). Kemudian karena perang atau bencana alam berangsur-angsur orang Hakka ini menetap di propinsi Kanton di perbatasan propinsi Hokkian.
Maka itu oleh orang Hokkian dan Kanton asli mereka disebut Khek, artinya tamu atau pendatang. Sudah begitu, keturunannya masih berimigrasi lagi ke Asia Tenggara. Kalau imigran pada umumnya punya reputasi sebagai pengambil risiko yang ulet bekerja, orang Hakka ini imigran kuadrat. Di kalangan orang Tionghoa, mereka mempunyai reputasi bagus sebagai kaum yang sangat menanamkan pentingnya keuletan, pengetahuan, dan pendidikan tinggi bagi anak-anaknya. Perdana Menteri Singapura yang pertama Lee Kuan Yew ialah orang Hakka.
Karena dulu kebanyakan orang Khek lebih tinggi pendidikan dan ekonominya daripada orang Hokkian kebanyakan, ada prasangka buruk yang berkembang di antara orang Hokkian di Jawa, karena iri hati. Olok-oloknya antara lain: khek-lang, habis nyekek, hilang. Artinya, kalau tidak ada kepentingan ekonomisnya, orang Khek dianggap tidak mau solider dengan orang Tionghoa lain.
Mirip dengan stereotype orang Tionghoa pada umumnya di mata sebagian kalangan orang Indonesia pribumi. Mudah-mudahan sekarang sudah tidak ada lagi prasangka buruk dan salah ini. Karena toh semuanya sudah tidak lancar berbahasa Tionghoa. Mandarin saja sepatah-patah dan amburadul, apalagi Hokkian, Hokchia, Khek, Henghua . forget about it!
Hampir semua keturunan Tionghoa di Jawa mengambil identitas utama sebagai orang Indonesia, dan identitas ke-2 sebagai orang Tionghoa, titik. Ini bagus. Kalau mau belajar bahasa Tionghoa, ya belajar Mandarin saja, yang standar dan dimengerti orang semilyar. Hokkian, Hokchia, dll. Hanya sekedar tahu sajalah, untuk cerita ke anak cucu.
0 komentar:
Posting Komentar