Membangun rumah tangga tidaklah seperti membangun rumah mewah atau gedung bertingkat. Menyusun batu bata di atas batu-bata lainnya.
Tidak juga seperti membuat sebuah taman, merangkai bunga di samping bunga. Apalagi seperti menghimpun binatang dalam satu kandang, satu jantan sepuluh betina.
Tidak. Tidak seperti itu maksudnya. Membangun rumah tangga itu harus dimulai dengan pernikahan antara seorang pria dan seorang wanita dengan beberapa syarat, antara lain yang selalu harus dipahami dan dihayati. Pertama, berkaitan dengan ijab kabul, serah terima pernikahan.
Ijab kabul itu pada hakikatnya adalah sebuah ikrar untuk hidup bersama, se-iya se-kata dalam mewujudkan sakinah atau ketentraman dengan menjalankan segala tuntutan dan kewajiban. Saling wasiat mewasiatilah tentang suami dan istri untuk berbuat baik, juga saling komunikasi diantara keduanya.
Sepasang suami istri harus menerimanya atas dasar amanah Allah SWT, dan menjadi halal hubungan seksual itu atas dasar kalimat Allah SWT. Itulah yang harus selalu diingat dan dihayati, agar menjadikan kehidupan rumah tangga dinaungi oleh makna kalimat itu.
Kebenaran, keadilan, langgeng, luhur penuh kebajikan, tidak berubah dan dikaruniai anak yang shaleh-shalehah. Ia juga sebagai penyejuk mata, penyenang hati, berbakti kepada kalian ayah bundanya dan kakek neneknya serta santun pada ahli keluarga dan tetangga disekitarnya. Inilah yang pertama, ijab Kabul (serah terima pernikahan).
Kedua, adalah mahar. Suami berkewajiban menyerahkan maskawin atau mahar kepada istri. Islam menganjurkan agar mahar itu sesuatu yang bersifat materi. Karena itu bagi yang tidak memilikinya, dianjurkan untuk menangguhkan pernikahan sampai dia memiliki kemampuan.
Namun, jika satu dan lain hal yang menyebabkan dia harus juga melakukan pernikahan, maka cincin besi pun dibolehkan. Begitulah sabda Nabi Muhammad SAW. Dan jika cincin besi inipun tidak dimilikinya, sedang pernikahan tidak dapat ditangguhkan lagi, maka mahar itu boleh berupa jasa mengajarkan Al Quran. Begitulah petunjuk Nabi Muhammad SAW sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
Mahar atau maskawin itu adalah lambang kesiapan dan kesediaan suami untuk memberi nafkah kepada istri dan sekaligus kepada putra-putrinya nanti. Selama mahar itu bersifat lambang, maka tidak harus banyak, bahkan sebaik-baik maskawin adalah seringan-ringannya.
Begitu sabda nabi Muhammad SAW, walaupun Al Quran tidak melarang untuk memberi sebanyak mungkin mahar atau maskawin. Mengapa demikian? Karena pernikahan itu bukanlah akad jual beli. Karena mahar itu bukan harga dari seorang perempuan. Wallahua’lam.
0 komentar:
Posting Komentar