Apa reaksi kita saat mendengar orang lain menjelek-jelekkan kita? Bagi yang mudah emosi, barangkali telinga akan langsung panas. Namun, ada kalanya, kita bertemu pula dengan orang yang seolah-olah selalu berkepala dingin, alias tak gampang marah. Tetapi, yang seperti ini, kadang pula malah memendam amarah dalam diri yang jika meledak, bisa mengganggu mentalitas.
Lantas, bagaimana sebenarnya kita harus menyikapi saat mendengar orang lain menjelek-jelekkan kita, baik secara langsung ataupun tidak? Mungkin, kita bisa belajar dari kisah inspiratif ini, untuk menjadikan celaan, hinaan, atau ejekan, justru mampu menjadi “bahan bakar” penyemangat hidup.
Konon, di salah satu perusahaan minyak terbesar dunia kerja sama Arab dan Amerika Serikat, sangat kental nuansa perbedaan perlakuan antara orang lokal Arab asli dengan orang Amerika yang rata-rata menduduki jabatan tinggi.
Suatu kali, ada seorang remaja yang bekerja di sana kehausan setelah bekerja seharian. Remaja yang hanya lulusan sekolah menengah ini menjadi pegawai rendahan di kantor tersebut. Ketika mendapati sebuah penampung air dingin yang segar, ia pun bersegera mengisi gelasnya untuk menghilangkan dahaga. Namun, tak disangkanya, saat hendak meminum air tersebut, sebuah suara cukup kasar menghardiknya. Suara itu muncul dari seorang pekerja Amerika, “Hei, kamu tidak boleh minum air itu! Yang boleh hanya insinyur, sedangkan kamu cuma pegawai rendahan.”
Remaja itu pun tidak jadi minum dan lantas pergi. Namun, yang membuatnya lebih tidak enak sebenarnya bukan haus. Tetapi, perasaan terhina: mengapa di negaranya sendiri, ia tak boleh meminum air itu. Apakah statusnya sebagai pegawai rendahan harus membedakan dirinya untuk bisa mendapatkan minuman, yang sebenarnya adalah air gratis yang bisa diminum siapa saja.
Beruntung, kemarahan remaja tersebut disalurkannya pada hal yang positif. Ia bertekad untuk mengubah nasibnya. Remaja ini pun belajar dengan sangat giat dan tekun. Siang hari ia pakai untuk bekerja, malamnya ia mengambil kelas untuk meraih pendidikan setingkat SMA.
Dengan kondisi tersebut, remaja itu jadi jarang bergaul dengan teman-teman sebayanya. Celakanya, saat ia menceritakan obsesi untuk memperbaiki nasib sebagai orang asli di perusahaan itu, ia malah ditertawakan teman-temannya. Namun, justru karena itulah, ia makin semangat untuk membuktikan ucapannya.
Karena bekerja sangat giat dan cepat belajar, akhirnya setelah lulus SMA, remaja ini mendapat kesempatan memperoleh beasiswa belajar ke perguruan tinggi di Amerika. Ia pun mengambil sarjana bidang teknik yang akan membuatnya bergelar insinyur. Kesempatan ini tidak disia-siakan untuk “membalas” masa lalunya yang dianggap sebagai pemicu semangatnya tersebut. Akhirnya, si remaja bukan hanya lulus menjadi insinyur, tapi ia bahkan diberi beasiswa lagi untuk meneruskan gelar Master bidang geologi.
Sekembali ke negaranya, remaja tersebut terus berkarya maksimal sehingga kariernya melesat cepat. Dari menjadi kepala bagian, kepala cabang, manajer umum, hingga akhirnya dipercaya menjadi wakil direktur di perusahaan tersebut. Itu merupakan jabatan tertinggi yang pernah diperoleh orang lokal di perusahaan itu. Lucunya, remaja yang telah menjadi wakil direktur tersebut mendapati insinyur yang merendahkannya dulu, menjadi bawahannya. Suatu ketika, sang insinyur memohon maaf atas peristiwa yang dulu pernah terjadi di antara mereka. Namun ia berkata, “Aku ingin berterima kasih padamu dari lubuk hatiku paling dalam karena kau melarang aku minum saat itu. Ya, dulu aku sempat benci padamu. Tapi, jika ditelusuri lebih jauh, kamulah penyebab dari kesuksesanku ini.”
Begitulah, sang remaja telah berhasil mengubah penghinaan menjadi pemicu semangat untuk meraih kesuksesan. Bahkan terakhir, ia dipercaya menjadi Menteri Perminyakan dan Mineral Arab Saudi. Ia mengubah “dendam” menjadi pendorong semangat untuk mengubah nasib.
Kita sendiri pasti juga pernah mengalami penghinaan dalam berbagai bentuk. Penolakan saat menjual sesuatu, diremehkan kala memulai perjuangan meraih impian, tidak dianggap di lingkungan kerja, diacuhkan saat memberi pendapat, hingga aneka bentuk “pelecehan” yang disadari atau tidak. Marah memang manusiawi. Emosi pun wajar terjadi. Tapi, reaksi kita atas segala bentuk ejekan itu sebenarnya bisa kita arahkan untuk hal yang lebih baik. Bukankah marah dan emosi tidak akan pernah menyelesaikan masalah? Malah, sering yang terjadi melipatgandakan problematika yang terjadi.
Mari ubah segala bentuk ejekan dan penghinaan sebagai pelecut semangat untuk menuju perubahan. Jangan biarkan emosi sesaat mengacaukan pikiran. Jangan izinkan kemarahan mendatangkan kemurkaan. Kisah di atas adalah bukti nyata, bahwa ejekan sebenarnya adalah “energi” yang akan menarik kekuatan dalam diri untuk bertransformasi meraih mimpi. Ibarat kegagalan, sebenarnya itu merupakan vitamin untuk pijakan menuju kesuksesan. Terus berjuang, terus berkarya, jangan mundur karena hinaan. Salam sukses, luar biasa!!
Lantas, bagaimana sebenarnya kita harus menyikapi saat mendengar orang lain menjelek-jelekkan kita, baik secara langsung ataupun tidak? Mungkin, kita bisa belajar dari kisah inspiratif ini, untuk menjadikan celaan, hinaan, atau ejekan, justru mampu menjadi “bahan bakar” penyemangat hidup.
Konon, di salah satu perusahaan minyak terbesar dunia kerja sama Arab dan Amerika Serikat, sangat kental nuansa perbedaan perlakuan antara orang lokal Arab asli dengan orang Amerika yang rata-rata menduduki jabatan tinggi.
Suatu kali, ada seorang remaja yang bekerja di sana kehausan setelah bekerja seharian. Remaja yang hanya lulusan sekolah menengah ini menjadi pegawai rendahan di kantor tersebut. Ketika mendapati sebuah penampung air dingin yang segar, ia pun bersegera mengisi gelasnya untuk menghilangkan dahaga. Namun, tak disangkanya, saat hendak meminum air tersebut, sebuah suara cukup kasar menghardiknya. Suara itu muncul dari seorang pekerja Amerika, “Hei, kamu tidak boleh minum air itu! Yang boleh hanya insinyur, sedangkan kamu cuma pegawai rendahan.”
Remaja itu pun tidak jadi minum dan lantas pergi. Namun, yang membuatnya lebih tidak enak sebenarnya bukan haus. Tetapi, perasaan terhina: mengapa di negaranya sendiri, ia tak boleh meminum air itu. Apakah statusnya sebagai pegawai rendahan harus membedakan dirinya untuk bisa mendapatkan minuman, yang sebenarnya adalah air gratis yang bisa diminum siapa saja.
Beruntung, kemarahan remaja tersebut disalurkannya pada hal yang positif. Ia bertekad untuk mengubah nasibnya. Remaja ini pun belajar dengan sangat giat dan tekun. Siang hari ia pakai untuk bekerja, malamnya ia mengambil kelas untuk meraih pendidikan setingkat SMA.
Dengan kondisi tersebut, remaja itu jadi jarang bergaul dengan teman-teman sebayanya. Celakanya, saat ia menceritakan obsesi untuk memperbaiki nasib sebagai orang asli di perusahaan itu, ia malah ditertawakan teman-temannya. Namun, justru karena itulah, ia makin semangat untuk membuktikan ucapannya.
Karena bekerja sangat giat dan cepat belajar, akhirnya setelah lulus SMA, remaja ini mendapat kesempatan memperoleh beasiswa belajar ke perguruan tinggi di Amerika. Ia pun mengambil sarjana bidang teknik yang akan membuatnya bergelar insinyur. Kesempatan ini tidak disia-siakan untuk “membalas” masa lalunya yang dianggap sebagai pemicu semangatnya tersebut. Akhirnya, si remaja bukan hanya lulus menjadi insinyur, tapi ia bahkan diberi beasiswa lagi untuk meneruskan gelar Master bidang geologi.
Sekembali ke negaranya, remaja tersebut terus berkarya maksimal sehingga kariernya melesat cepat. Dari menjadi kepala bagian, kepala cabang, manajer umum, hingga akhirnya dipercaya menjadi wakil direktur di perusahaan tersebut. Itu merupakan jabatan tertinggi yang pernah diperoleh orang lokal di perusahaan itu. Lucunya, remaja yang telah menjadi wakil direktur tersebut mendapati insinyur yang merendahkannya dulu, menjadi bawahannya. Suatu ketika, sang insinyur memohon maaf atas peristiwa yang dulu pernah terjadi di antara mereka. Namun ia berkata, “Aku ingin berterima kasih padamu dari lubuk hatiku paling dalam karena kau melarang aku minum saat itu. Ya, dulu aku sempat benci padamu. Tapi, jika ditelusuri lebih jauh, kamulah penyebab dari kesuksesanku ini.”
Begitulah, sang remaja telah berhasil mengubah penghinaan menjadi pemicu semangat untuk meraih kesuksesan. Bahkan terakhir, ia dipercaya menjadi Menteri Perminyakan dan Mineral Arab Saudi. Ia mengubah “dendam” menjadi pendorong semangat untuk mengubah nasib.
Kita sendiri pasti juga pernah mengalami penghinaan dalam berbagai bentuk. Penolakan saat menjual sesuatu, diremehkan kala memulai perjuangan meraih impian, tidak dianggap di lingkungan kerja, diacuhkan saat memberi pendapat, hingga aneka bentuk “pelecehan” yang disadari atau tidak. Marah memang manusiawi. Emosi pun wajar terjadi. Tapi, reaksi kita atas segala bentuk ejekan itu sebenarnya bisa kita arahkan untuk hal yang lebih baik. Bukankah marah dan emosi tidak akan pernah menyelesaikan masalah? Malah, sering yang terjadi melipatgandakan problematika yang terjadi.
Mari ubah segala bentuk ejekan dan penghinaan sebagai pelecut semangat untuk menuju perubahan. Jangan biarkan emosi sesaat mengacaukan pikiran. Jangan izinkan kemarahan mendatangkan kemurkaan. Kisah di atas adalah bukti nyata, bahwa ejekan sebenarnya adalah “energi” yang akan menarik kekuatan dalam diri untuk bertransformasi meraih mimpi. Ibarat kegagalan, sebenarnya itu merupakan vitamin untuk pijakan menuju kesuksesan. Terus berjuang, terus berkarya, jangan mundur karena hinaan. Salam sukses, luar biasa!!
0 komentar:
Posting Komentar