Pagi tadi saya terbangun terlalu awal. Namun demikian, rutinitas ritual bangun pagi tetap berlanjut, berdoa, mematkan lampu taman belakang, menyalakan lampu ruang utama, mengambil handuk dan mandi. Sebelum mandi, seperti biasa saya duduk di toilet.
Tiba-tiba saja terlintas dalam benak saya hal-hal yang berkaitan dengan maaf dan ampunan dalam hubungannya dengan kesadaran, kepasrahan, dan keterpaksaan.
Berkelana dalam renungan singkat itu akhirnya bermuara pada beberapa bentuk:
Apabila pihak yang bersalah (nyata bersalah):dan berniat menyesalinya:
- Meminta maaf dan ampunan secara sadar, bagaimanakah dengan suasana hatinya (malu dan tertunduk, biasa saja, loyo dan lemas, muka tegak dan merasa diri gentle di depan khalayak, bahagia karena sudah berhasil mengalahkan ego pribadinya, atau akan dinilai gentle dan harga diri terangkat, bahagia karena sebagian rasa bersalah sudah berhasil dilepas, tidak mendendam dan tidak sakit hati, tidak malu karena sudah berani mengakui dan meminta maaf, memastikan menjadi bahan renungan untuk perbaikan, yakin semua pihak bahagia dan tidak ada yang malu, menjadi lecutan untuk perbaikan diri, bahagia karena toh manusia tidak sempurna dan hanya sebagian pihak yang tahu kesalahannya, atau ribuan suasana hati lain-lainnya)? Akankah benar menyesalinya dan tidak mengulanginya?
- Meminta maaf dan ampunan secara pasrah (karena ketidakberdayaan terhadap situasi dan/ atau pihak lainnya), bagaimanakah dengan suasana hatinya? Akankah benar menyesalinya dan tidak mengulanginya?
- Meminta maaf dan ampunan secara terpaksa, (karena suatu bentuk pemaksaan atau demi alasan lain), bagaimanakah dengan suasana hatinya? Akankah benar menyesalinya dan tidak mengulanginya?
- Tidak meminta maaf dan ampunan (walaupun sadar bersalah dan berniat menyesalinya), bagaimanakah suasana hatinya?Akankah menyesalinya dan tidak mengulanginya?
Sedangkan pada pihak yang kedua, yang berniat memaafkan dan mengampuninya.
- Memaafkan sudah dari awal (sebelum diminta maafnya), entah karena sadar baiknya begitu, atau pasrah karena merasa yang baik mestinya begitu, atau terpaksa karena yang baik mengatakan begitu, bagaimanakah suasana hatinya (lega, karena sudah berhasil mengalahkan ego pribadinya, merasa diri tanpa beban dan tanpa tersakiti dan bahagia, sakit namun bahagia karena suatu bentuk pelayanan yang maksimal, bangga akan kekuatan dan kebesaran jiwa, ringan karena permasalahan sudah nol-nol, senang karena pihak yang meminta maaf (dengan bermacam bentuk suasana hati) sudah sadar akan kesalahannya dan menyesalinya, senang karena mampu memberikan contoh mana yang benar dan yang salah, percaya bahwa pihak yang lain setidaknya sudah mendapatkan pelajaran untuk perbaikan, bahagia karena yakin semua pihak akan bahagia tanpa rasa malu, bahagia karena percaya bahwa memaafkan terlebih dahulu akan lebih mudah bagi semua pihak menyelesaikan masalah dan mencegah berulangnya masalah, ataukah ribuan suasana hati lain-lainnya?Akankah benar tulus memaafkan dan apakah harapannya?
- Memaafkan setelah diminta maaf, entah karena sadar baiknya begitu, atau pasrah karena merasa yang baik mestinya begitu, atau terpaksa karena yang baik mengatakan begitu, bagaimanakah suasana hatinya? Akankah benar tulus memaafkan dan apakah harapannya?
- Memaafkan meski kapanpun tidak pernah diminta maaf, entah karena sadar baiknya begitu, atau pasrah karena merasa yang baik mestinya begitu, atau terpaksa karena yang baik mengatakan begitu, bagaimanakah suasana hatinya? Akankah benar tulus memaafkan dan apakah harapannya?
- Memaafkan setelah sekian waktu berlalu, entah karena sadar baiknya begitu, atau pasrah karena merasa yang baik mestinya begitu, atau terpaksa karena yang baik mengatakan begitu, bagaimanakah suasana hatinya? Akankah benar tulus memaafkan dan apakah harapannya?
- Tidak memaafkan (walaupun berniat memaafkan) jika tidak diminta maaf, bagaimanakah suasana hatinya? Akankah benar tulus memaafkan dan apakah harapannya?
Yang mana yang dipilih?
0 komentar:
Posting Komentar