Selasa, 15 September 2009

Pengingkaran diri dalam kehidupan sehari-hari

Pernahkah Anda melakukan sesuatu yang sebenarnya Anda ketahui bahwa sesuatu yang Anda lakukan merupakan suatu kesalahan atau anda tahu bahwa itu salah tetapi Anda tetap melakukannya bahkan menjadi kebiasaan?. Atau Anda melihat suatu kebenaran tapi tidak mau mengikuti malah bertahan dengan alasan Anda yang nyata-nyata salah, bahkan hati kecil pun mengakui bahwa yang dilakukan adalah salah?. Dan ironisnya kesalahan tersebut dianggap hal biasa hingga menjadi "benar" menurut penilaian sendiri.

Banyak perilaku pengingkaran diri ini yang kelihatannya normal padahal hidupnya penuh dengan topeng-topeng kepalsuan. Agar dilihat bagus dari luar tetapi sebenarnya bobrok didalamnya. Jika diambil contoh akan banyak sekali perilaku seperti itu yang menyusup dalam kehidupan kita namun kita sendiri merasa semua baik-baik saja dan merasa tidak ada yang salah.

Saya ambil contoh di bulan ramadhan ini, Seorang teman yang tidak berpuasa ketika diluar rumah tetapi ketika pulang kerumah pada saat berbuka puasa ikut-ikutan berbuka bersama keluarga seolah-olah dia berpuasa dan pada saat sahur pun demikian ikut-ikutan sahur. Entah karena takut orang tua, istri atau malu sama anak yang jelas dia tidak merasa bersalah dengan perilakunya itu. Ya… saya tidak berhak mencampuri urusan temanku tersebut, cuma seperti itulah contoh kecil pengingkaran diri dan itulah kadang dalam hidup hal-hal semacam ini secara sadar sering kita lakukan seperti berbohong, atau menipu diri untuk menutupi kelemahan atau kesalahan.

Seorang pelajar yang sering membolos tentu mengingkari dirinya dengan pura-pura pergi sekolah tetapi malahan main dan jelas telah membohongi orang tuanya yang menyangka anaknya benar-benar pergi untuk sekolah.

Kita selalu kelihatan ingin tampil baik dan sempurna dalam kehidupan kita, sehingga gaya dari mulai model pakaian hingga rambut pun tidak mau ketinggalan jaman plus kendaraan yang dipakai juga ingin kelihatan keren. Segala cara diupayakan agar bisa tampil gaya, gak perduli harus ngutang, pinjam sana-pinjam sini, cicil sana cicil sini, asal bisa punya motor atau mobil dan penampilan yang wah.. padalahal kita sendiri tahu bahwa kita tidak mampu atau kalaupun mampu sangat terlalu memaksakan diri. Prinsip “bagaimana nanti” telah menjadi kebiasaan kita sehari-hari bukan “nanti bagaimana?”.

Memang tidak ada yang salah dengan semua itu jika benar kita mampu dan tidak mamaksakan diri tetapi jalas akan salah jika semua itu hanya upaya mengingkari keadaan diri yang sebenarnya belum mampu. Akibatnya kita terjerat dengan masa depan yang terbebani akibat ulah kita sendiri.

Seorang pecandu rokok yang bisa menghabiskan minimal 4 bungkus rokok sehari tahu bahwa dia telah menderita kecanduan rokok yang akut karena konsumsi rokok yg berlebihan. Mungkin memang tidak ada aturannya berapa batang rokok yg kita hisap yang membuat seseorang dapat dikatakan kecanduan, tapi kita tahu bahwa hal ini tidak baik, apalagi kalau ternyata pecandu rokok tersebut sebenarnya punya masalah kesehatan dengan paru-parunya yang tidak sehat karena kebiasaan merokoknya tersebut, nah ini sudah termasuk kategori salah. Maaf bukan menyindir para peroko, saya sendiri masih merokok, , Sengaja bikin contoh ini untuk mengingatkan diri saya sendiri bahwasanya ternyata saya juga telah mengingkari diri dengan merokok. Perlu waktu untuk merubah kebiasaan ini atau mungkin saya masih merasa tidak salah dengan merokok ini karena merasa sehat-sehat saja.

Istilah seperti merupakan bentuk pengingkaran diri (self denial) yang berarti proses, cara, perbuatan mengingkari: ~ biasanya dinyatakan dengan kata tidak atau bukan. Hal ini erat kaitannya dengan kebiasaan sehingga apabila dituntut untuk berubah kita menolaknya dengan bentuk pengingkaran diri dan alasan–alasan lain sebagi ajang pembenaran diri. Ujungnya nya kita bertahan dengan kesalahan diri sehingga tak jarang pada akhirnya muncul ungkapan :

“ini lho gue”.
“biarain aja gue udah begini, terserah gue”.
“Gue mau begini atau begitu, urusan gue”
"Suka-suka gue dong”
"peduli amat sama moral yang penting bahagia" dan berbagai pernyataan lainnya.

Jika sudah begini waspadalah bahwa berarti pengingkaran diri sudah melekat bersama ke egiosan dan bahayanya akan sulit menerima masukan yang baik dari orang lain yang sebetulnya adalah untuk kebaikan dirnya sendiri.

Secara naluriah, manusia itu takut menghadapi perubahan apabila sudah terbiasa melakukan suatu kebiasaan. Walaupun mungkin kita sendiri sangat sadar dan tahu bahwa kebiasaan itu belum tentu baik dan benar, bahkan mungkin kita anggap salah, karena tidak sesuai dengan norma dan nilai yang kita anut atau pahami.

Lalu bagaimana cara mengatasinya?

Untuk mengatasi hal tersebut dibutuhkan keylock atau kontrol diri yang harus kuat serta diperlukan disiplin tingkat tinggi untuk dapat merubah kebiasaan yang kurang baik tersebut. (Mengenai disiplin ini anda bisa baca di 2 Kunci Sukses Sederhana ) Atau kalau kita tidak sanggup/bisa merubah kebiasaan yg kurang baik itu sendiri, kita perlu bantuan orang lain yang bisa mengingatkan kalau kita salah, harus berubah dan berusaha menjadi lebih baik lagi.

Jika kita melihatnya dari segi Kecerdasan atau Q/quotient, menurut saya semuanya berperan, karena kita tahu bahwa yang kita lakukan itu tidak baik dan butuh perubahan yang signifikan walaupun harus melewati proses yang tidak mudah, karena butuh waktu dan pengorbanan. Tapi apabila kita punya tekad yang kuat dan bisa mengontrol diri untuk berubah atau minimal mengurangi perbuatan/ tindakan kita yang kurang baik tersebut, tanpa kita sadari kita sudah mempunyai keinginan untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya, dan apabila kita sudah merasa sedikit nyaman atau tidak merasa terlalu terbebani dengan target yang hendak kita capai, saya rasa itu sudah mempermudah diri kita sendiri untuk menghadapi perubahan tersebut.

Selamat berubah untuk tidak mengingkari diri.


0 komentar:

Posting Komentar