Rabu, 10 November 2010

Berkawan Dengan Bencana


Musibah beruntun tengah di melanda negeri kita tercinta ini, Indonesia. Sebuah negeri yang katanya Jambrud di Khatulistiwa ternyata mempunyai potensi bencana yang cukup banyak. Tengoklah mulai dari bencana gempa yang kerap terjadi di negeri ini hingga letusan gunung berapi. Belum lagi bencana yang diakibatkan dari ulah manusia seperti banjir dan longsor bahkan Lumpur. Belum kering air mata akibat bancana banjir tanah longsor di Wasior Papua, gempa yang didiringi tsunami menerjang Kepulauan Mentawai dan yang terakhir yang hingga saat ini masih berlangsung yaitu Letusan gunung merapi yang entah sampai kapan akan berhenti walupun intensitasnya sudah menurun, letusan sudah berkurang, erupsi awan panas juga berkurang, tapi status masih awas karena energinya masih banyak.

Namun dari semua bencana yang terjadi itu, tidak cukup kita hanya melontarkan pertanyaan mengapa? Atau hanya sekedar menyalahkan alam itu sendiri. Tidak bisa seperti itu!! Ini tanah kita, tempat hidup kita.

Seharusnya kita berfikir semakin matang dan arif menyikapi bencana yang akhir-akhir ini sering melanda negeri kita. Kita tidak pernah tahu kapan bencana datang namun yang jelas kita berada dan hidup di negeri yang memang menyimpan potensi bencana yang banyak. Seperti yang kita ketahui dibanyak buku pelajaran geologi bahwa Negara kita adalah Negara kepulauan yang terletak di kawasan episentrum gempa bumi karena dilintasi oleh patahan kerak bumi lanjutan patahan kerak bumi dari pulau Sumatera, yang berada dilepas pantai selatan pulau Jawa.

Posisi Indonesia yang terletak di antara pertemuan tiga lempeng bumi yang besar yaitu Eurasia, Samudra Pasifik, dan Indo-Australia membuat perairan laut di sekitar kita sering mengalami gempa bumi belum lagi termasuk dalam Cincin Api Pasifik atau Lingkaran Api Pasifik (bahasa Inggris: Ring of Fire) adalah daerah yang sering mengalami gempa bumi dan letusan gunung berapi yang mengelilingi cekungan Samudra Pasifik. Daerah ini berbentuk seperti tapal kuda dan mencakup wilayah sepanjang 40.000 km. Daerah ini juga sering disebut sebagai sabuk gempa Pasifik.

Sekitar 90% dari gempa bumi yang terjadi dan 81% dari gempa bumi terbesar terjadi di sepanjang Cincin Api ini. Daerah gempa berikutnya (5–6% dari seluruh gempa dan 17% dari gempa terbesar) adalah sabuk Alpide yang membentang dari Jawa ke Sumatra, Himalaya, Mediterania hingga ke Atlantika.

Berdasarkan hal itu maka tentu saja otomatis Negara kita adalah Negara yang memang rawan bencana gempa baik berupa gempa tektonik maupun vulkanik. Maka dari itu kita sepatutnya harus sudah mengerti akan kondisi alam kita bahwa bencana semacam itu tentu akan kerap terjadi dan harus selalu siap kita hadapi. Mau tak mau pada akhirnya kita harus berteman dengan bencana itu sendiri, berusaha hidup berdampingan dengan bencana.

Seperti layaknya sebuah pertemanan, kita manusia yang lebih banyak di beri akal untuk berpikir, harus dapat memahami karakteristik alam tempat tinggal kita. Kita tahu alam telah memberi begitu banyak kekayaan untuk kita. Tanah bekas abu vulkanik menjadi tanah subur. Namun harus tahu juga bahwa dibalik kebaikannya, alam kita mempunyai karakter keras dengan berbagai bencana yang bisa ditimbulkannya.

Lalu harus seperti apa sikap kita?

Ilmu Pengetahuanlah jawabannya..

Seharusnya dari berbagai bencana yang telah menimpa kita, masyarakat harusnya lebih tahu dan mau belajar dari setiap bencana yang datang tentunya untuk menghindarkan kita dari banyaknya korban jiwa yang mati sia-sia karena bencana. Dukungan pemerintah dalam hal ini sangat diperlukan bukan hanya untuk evakusai atau sekedar bantuan makanan saja namun yang lebih penting adalah segera dibangunnya pusat-pusat informasi yang lebih dekat ke daerah masyarakat rawan bencana dan membeikan penyuluhan bagi masyarakat desa yang sebagian besar belum mengerti tentang cara menangulangi atau menyiasati bencana agar tidak memakan banyak korban. Teknologi sebagi system peringatan dini bila akan terjadi bencana seperti letusan gunung , Gempa dan Tsunami harus semakin dikembangkan.

Belajar dari Jepang

Jepang merupakan negara yang sering mengalami gempa. Kasus-kasus gempa di Jepang tergolong besar, sementara gempa kecil sudah merupakan menu rutin masyarakat Jepang. Bagaimana kita belajar dari mitigasi bencana gempa di Jepang?

Kita bisa terapkan model penanganan gempa di Jepang dengan karakteristik bencana seperti yang terjadi di Negara kita seperti bila terjadi Letusan Gunung berapi.

Model pembangunan pasca Bencana baik itu berupa bencana Gempa atau Letusan Gunung yaitu :.

Pertama adalah langkah penyelamatan dan pemulihan.

Kedua, adalah rekonstruksi.
Rekontruksi yang dimaksud bukan hanya pembangunan rumah tinggal, sarana dan prasarana saja tetapi lebih pada rekontruski yang terencana dengan membuat master plan rumah tinggal, tata kota dan fasilitas umum yang dapat menghindari kita dari ancaman bancana yang bisa datang setiap saat. Misalnya dengan membuat dan mensosialisasikan pembuatan rumah tahan gampa, atau jika diperlukan membuat bungker keselamatan, membuat akses jalan darurat bila terjadi bencana tau apapun itu yang sekiranya dapat meyelamatkan warga dari ancaman bencana.

Contohnya Pada Juli 1995, pemerintah Jepang baru mengeluarkan Hyogo Phoenix Plan, yang tidak saja mengembalikan infrastruktur dan pelayanan sebagaimana sebelum gempa. Lebih dari itu, mereka berorientasi pada creative reconstruction yang diarahkan untuk memenuhi kebutuhan era baru dan masyarakat matang (drive to maturity). Tampaknya mereka meminjam kerangka Rostow dalam model pembangunannya. Mereka punya visi ''mewujudkan masyarakat baru menyongsong abad 21, dan menciptakan kota tahan gempa sehingga warga bisa merasa confident''.

Yang jauh lebih penting adalah cita-cita mature society tersebut, dimana upaya membangun creative civil society yang berbasis kerja sama antara warga dan pemerintah menjadi visi besarnya. Termasuk dalam rekonstruksi ini warga dilibatkan dengan diberi kesempatan membentuk Komite Rekonstruksi yang didampingi konsultan profesional. Mereka sebagai mitra pemerintah dalam rekonstruksi ini. Sehingga, langkah pertama pemerintah dalam rekonstruksi ini adalah mengundang warga mendiskusikan proyek rekonstruksi fisik. Baru pada tahap kedua diskusi sosial-ekonomi.

Dalam tiga tahun, seluruh infrastruktur, seperti jalan, rel kereta api, dan sarana komunikasi lainnya selesai, dan bahkan jauh lebih bagus dari sebelumnya. Begitu pula lapangan kerja dan perumahan baru telah dibuka, serta creative civil society terbentuk. Dan, dari survey terhadap korban bencana, ditemukan bahwa 82,8 persen responden mengatakan sudah pulih. Jadi, tidak hanya rekonstruksi fisik dan ekonomi yang terjadi, tetapi juga rekonstruksi sosial-politik.

Ketiga, adalah keselamatan dan keamanan.
Pemerintah harus mendorong adanya komunitas pencegahan bencana dimana warga disiapkan untuk siap setiap saat ketika terjadi gempa. Selain itu langkah antisipasi bencana kemudian dijadikan agenda nasional dengan mempersiapkan jaringan komunikasi yang lebih baik yang kondusif pada saat-saat darurat. Ini harus dilakukan mengingat kita sadar bahwa langkah pemerintah pada saat bencana terjadi sering dianggap lambat karena karena lemahnya sistem komunikasi darurat. Keterlambatan ini bisa menjadi fatal karena akibat lambatnya penanganan dan sitem komunikasi akan membuat semakin banyaknya korban yang tidak dapat tertolong.

Contoh Jepang yang telah menerapkan Perbaikan sistem ini dan ternyata berhasil yaitu ketika Oktober 2004 lalu, Niigata dihantam gempa. Dalam tujuh menit, angkatan bersenjata Jepang sudah bertindak dan 30 menit kemudian informasi sudah terkumpul. Lalu, pemerintah provinsi lainnya, Hyogo, langsung mengirim ahli pemulihan gempa, pembangunan perumahan darurat, menilai tingkat bahaya rumah yang rusak, menyediakan tim kesehatan, serta pelayanan spiritual dan psikologi.

Model penyuluhan gempa
Masyarakat dituntut harus lebih sadar dan waspada bahwa betapa bencana setiap saat mengancam dan untuk itu diberikan Model penyuluhan untuk mengahadapi bencana seperti letusan gunung atau gempa. Langkah-langkah praktis dalam menghadapi bencana harus dikenalkan di sekolah-sekolah dasar, hingga keseluruh kelurahan bahkan masyarakat terpencil yang banyak tersebar di Negara kita termasuk bagi setiap warga asing yang akan tinggal di Indonesia. Selain berupa peragaan, harus juga dibikin dan disebarkan buku kecil yang berisi prosedur darurat gempa dalam bentuk gambar dan tulisan yang singkat, padat, menarik, dan mudah dipahami.

Sebagai contoh, di Jepang, diajarkan bahwa langkah pertama adalah mencari selamat dengan diam di bawah meja dengan bantal di atas kepala. Ini dimaksudkan untuk melindungi kepala dari benda-benda yang mungkin jatuh dan mengenai kepala kita. Ini berbeda dengan di Indonesia, yang terbiasa langsung lari keluar gedung atau rumah yang ditujukan untuk menghindari reruntuhan. Selain itu, di Jepang, sebagian dari mereka juga dianjurkan untuk cepat membuka pintu, namun hanya untuk mempermudah akses keluar setelah gempa berhenti, dan bukan untuk lari keluar gedung.

Langsung keluar gedung dianggap lebih beresiko, daripada diam di bawah meja. Ini mengingat banyaknya gedung-gedung tinggi di Jepang. Bila api kompor masih menyala, sangat dianjurkan untuk lebih dulu mematikan gas, dan kalau api sudah mulai menyala besar sebagai tanda kebakaran mereka mesti mematikan dengan pemadam kebakaran yang harus disediakan di setiap rumah. Dalam buku kecil tersebut juga dijelaskan soal tsunami. Ini dikhususkan bagi mereka yang tinggal di dekat pantai. Begitu terjadi gempa, langkah pertama harus mencari tempat atau lahan yang tinggi. Tsunami biasanya datang begitu cepatnya setelah gempa.

Seluruh prosedur seperti itu sudah mendarah daging pada masyarakat Jepang. Tentu ini merupakan salah satu keberhasilan program penyuluhan antisipasi gempa. Hal ini ditambah lagi dengan peran televisi yang selalu menyiarkan warning yang diberikan lembaga-lembaga riset yang ada. Begitu terjadi gempa, dalam kurang dari dua menit telah ada tulisan di setiap program TV bahwa telah terjadi gempa dengan rincian kekuatannya. Tidak hanya gempa, bencana angin taifu juga selalu mengancam. Namun, angin taifu dapat lebih dini terdeteksi dan disiarkan TV seminggu sebelumnya. Pergerakan angin taifu di pasifik selalu diperlihatkan di layar TV setiap saat, sehingga kita tahu dimana posisi angin taifu. Artinya, masyarakat memang telah disiapkan untuk menghadapi bencana, dengan sistem deteksi dini, sistem diseminasi informasi, serta prosedur standar saat terjadi bencana.

Seperti itulah seharusnya sikap kita dalam menghadapi bencana yang terjadi mengingat bencana adalah kawan kita yang harus dimengerti dan dipahami apa maunya karena kita tidak bisa melawan kekuatan alam yang maha dahsyat, bukan dengan bertahan karena belum ada wangsit atau hal-hal berbau mistik yang biasanya dikaitkan dalam suatu bencana yang terjadi seperti yang masih banyak dipercaya di negeri kita ini.

Kearifan Lokal itu perlu namun kearifan lokal yang tidak didiringi dengan ilmu pengetahuan yang biasannya malah menyesatkan.

Karena itu, hikmah terbesar yang bisa kita ambil dari kasus bencana seperti gempa dan letusan gunung berapi ini adalah bahwa pemerintah Indonesia harus mulai sadar tentang pentingnya mitigasi bencana alam. Dari mulai sistem deteksi dini yang memang mengandalkan riset, sistem informasi darurat, manajemen rehabilitasi bencana alam, serta penyuluhan bencana alam. Bukan dengan selalu membuat alasan bahwa setiap bencana yang terjadi tidak sama dengan bencana bencana yang telah terjadi dahulu. Sebenarnya kita tahu kok bencana apa saja yang selalu mengancam negeri ini. Gempa, tsunami dan Letusan gunung sudah menjadi tema bencana biasa di negeri ini. Jadi ya sama saja. Namun mengapa kita selalu belum siap jika bencana yang sama datang? Ya karena kita tak pernah mempersiapkan dengan serius dan terencana akan hal itu.

Bencana memang di luar kehendak kita, sehingga yang bisa kita lakukan adalah memaksimalkan usaha antisipasi untuk meminimalkan dampak. Tentu, harapan kita adalah bahwa konstruksi fisik, sosial ekonomi, dan politik Bencana mesti bisa lebih baik dari sebelumnya.

Diakhir tulisan ini saya hanya akan mengajak bahwa mulai saat ini selain dari memaksimalkan usaha dalam mitigasi bencana diatas, saya mengajak agar kita lebih sadar dengan lebih berintrospeksi ke dalam diri kita masing-masing. Sebagai orang beragama, Upaya Beribadah, memperbanyak amal baik harus semakin ditingkatkan karena bilamana terjadi bencana yang tidak bisa kita hindari lagi dan kita hanya bisa pasrah atas kehendaknya, sekalipun kematian menghampiri kita, kita sudah siap dengan amal ibadah yang kita punya.

0 komentar:

Posting Komentar