Selasa, 04 Desember 2012

Malu, sebagian dari keimanan

MALU dan kehormatan bisa berpadu satu. Bila salah satunya luruh, maka hancurlah yang lain. Malu berbuat kejelekan, malu melakukan kejahatan, malu terhadap keburukan. Sedianya sifat malu hadir bukan hanya dihadapan manusia, yang terutama adalah terhadap Allah, dan diri sendiri.

Malu atau dalam bahasa Arab al hayaa-u, adalah sikap menahan segala kecenderungan berbuat keburukan, kelaliman, kekejian, kesewenang-wenangan dan tindak kemaksiatan lainnya. Orang yang memiliki rasa malu akan mendapatkan banyak kebaikan.

Rasulullah bersabda, “Sifat malu merupakan kumpulan kebaikan” (HR Muslim). Karenanya, siapa saja yang memiliki rasa malu, sungguh dia telah mendapatkan nikmat yang sempurna dari Allah SWT.

Perasaan malu merupakan ciri yang sangat khas akhlak mulia dalam pandangan Islam. "Setiap agama mempunyai akhlak, dan akhlak Islam yang (fundamental) adalah rasa malu," (HR Imam Malik).

Sifat malu merupakan cabang dari perkara keimanan yang sangat penting, karenanya jika seseorang sudah tidak memiliki rasa malu lagi, maka akan lepaslah segala sifat baik dan mulia pada dirinya. Bahkan, akan tercerabut pula perasaan kemanusiaannya.

Seseorang yang tidak memiliki rasa malu cenderung akan melakukan apa saja, tanpa peduli akibatnya. Baik akibat buruk terhadap dirinya sendiri, maupun akibat buruk terhadap kehidupan masyarakat. Karenanya, sabda Nabi yang cukup utama dan pokok adalah, “Jika kamu tidak malu, maka lakukanlah apa saja yang kamu mau,” (HR Bukhari, Abu Daud dan Imam Ahmad).

Kehidupan saat ini yang semakin materialistis telah semakin mengikis sifat malu dari diri seseorang. Materi menjadi tolok ukur segala-galanya dalam kehidupan ini, nilai-nilai akhlak, nilai kemanusiaan, kejujuran, dan kebaikan lainnya kian tereliminasi sangat jauh.

Budaya malu, selayaknya menjadi sikap yang senantiasa melekat di semua lini kehidupan. Baik dia seorang rakyat biasa, terlebih bagi seorang pejabat pemerintahan.

Apakah dia seorang petani, pegawai negeri, guru, karyawan, pengusaha, pedagang, atau seorang politikus. Semua dari kita harus malu melakukan tindak kejelekan, tidak hanya dihadapan manusia, tapi malu kepada Allah SWT dan diri sendiri.

Ia harus berfikir, malu jika suatu saat nanti kita akan diadili di akhirat oleh Allah SWT di hadapan semua makhluk di dunia ini. Jika perasaan malu hanya kepada manusia, tidak di hadapan Allah, justru yang terlahir hanya sekadar manusia-manusia penjilat, asal bapak senang, asal bos senang, dan lainnya.

"Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik." (QS Al Baqarah:195)

0 komentar:

Posting Komentar