Seorang Darwis menemui Nasrudin Hoja untuk berguru.
Nasrudin menerimanya.
Suatu malam, Nasrudin menggosok kayu untuk melentikkan api.
Api kecil pun muncul. Nasrudin lalu meniup-niupnya.
“Mengapa api itu kau tiup?” tanya Si Darwis.
“Agar lebih panas dan lebih besar apinya,” jawab Nasrudin.
Benar saja, api pun membesar.
Nasrudin kemudian memasak sop. Setelah matang, ia lalu menuangnya ke dalam dua mangkok.
“Makanlah,” kata Nasrudin sambil mengambil bagiannya, kemudian meniup-niup sop tersebut.
Sang Darwis mengerutkan kening. “Mengapa sop itu kau tiup?” tanyanya.
“Agar lebih dingin dan enak dimakan,” jawab Nasrudin.
“Ah,” sahut Si Darwis, “Aku rasa aku tidak jadi belajar darimu.”
Darwis itu berdiri. “Engkau tidak konsisten dengan pengetahuanmu. Semula engkau meniup agar bertambah panas, sekarang engkau meniup agar dingin. Kamu tidak konsisten…”
Sepeninggal muridnya, Nasrudin pun berkelana. Ia mencoba memahami arti konsistensi. Hingga suatu hari ia bertemu sahabat lamanya. “Hei Nasrudin, berapa usiamu sekarang?”
“40 tahun,” sahut Nasrudin.
Orang itu pun berlalu.
Setahun kemudian, mereka bertemu lagi. Sahabat itu kembali bertanya,”Kau terlihat sehat, berapa usiamu, Nasrudin?”
“40 tahun,” sahut Nasrudin.
Orang itu mendadak tertawa. “Kamu sungguh bodoh. Kalau tahun lalu usiamu 40, tahun ini tentu 41. Sungguh bodoh sekali,” sahut orang itu sambil berlalu. Suara tawanya masih terdengar meski sosoknya telah lenyap di balik tikungan.
“Saya hanya mencoba konsisten,” lirih Nasrudin sambil melangkah lesu.
0 komentar:
Posting Komentar