Umumnya, setiap orang di dunia ini, ketika akan membentuk sebuah keluarga, maka ia akan memulainya dengan mencari seorang istri. Hal ini berlaku universal, tidak memandang suku bangsa, etnis, atau agama tertentu saja.
Sedangkan, seorang muslim yang akan membentuk sebuah keluarga sakinah, mawaddaj dan rahmah (SAMARA) hendaknya memulai dengan mencari “seorang ibu bagi anak-anaknya kelak”. Sekilas, keduanya tampak sama, akan tetapi sesungguhnya sangat berbeda esensinya.
Tatkala seseorang mencari seorang istri sebagai pendamping hidupnya, maka biasanya ia lebih berorientasi pada fisik belaka. Mulai dari yang wajahnya cantik, hidung mancung, lulusan PTN ternama, kulit putih, dan seterusnya.
Sedangkan, jika seseorang mencari sosok wanita yang akan menjadi ibu dari anak-anaknya kelak, maka ia akan berfikir selangkah lebih maju. Bagaimanakah sosok anak-anak yang diidamkannya kelak?
Anak yang shaleh, berakhlak mulia, berjiwa militan, dan seterusnya, maka atas dasar itulah ia mencari pasangan hidupnya. Mencari seorang ibu yang shalehah, berakhlak mulia, yang kelak bersama dapat mewujudkan tujuannya dalam berumahtangga.
Keluarga muslim diilustrasikan sebagai seperangkat alat penghasil aroma terapi, yang terdiri dari minyak aroma dan sumbu yang terbakar. Minyak sebagai bahan bakar adalah bahan dasar mutlak aroma terapi, digambarkan sebagai pasangan hidup.
Bagaimana wangi aroma yang ingin kita hasilkan, maka kita harus mencari minyak yang sesuai dengan wangi aroma yang kita inginkan. Sedangkan sumbu diibaratkan rumah tangga, kerjasama pasangan suami-istri yang berkorban “terbakar” bersama demi terciptanya wangi aroma yang kelak akan sebagai terapi.
Yang paling sulit pastinya adalah bagaimana mendidik dan mempersiapkan anak-anaknya kelak pada zamannya, yang notabene sangat jauh berbeda dengan zaman orang tuanya dahulu. Jika dulu orang tua menerapkan sistem pendidikan secara koresif, over protective, maka anak-anak mereka ketika itu sekarang telah tumbuh dewasa, dan menjadi orang tua bagi anak-anaknya.
Berbeda dengan orangtuanya dahulu, maka sang anak tidak ingin anak-anak mereka merasa terkekang seperti yang mereka alami dahulu, maka terciptalah sistem pendidikan yang permissive, serba boleh, hampir tak ada larangan dan hukuman. Kedua sistem pendidikan ini bak ayunan bandul, ekstrim ke kiri ada koresif dan ekstrim ke kanan ada permissive.
Sistem pendidikan islam modern adalah yang berada ditengah-tengah, tidak koresif juga tidak permissive. Ada sebuah pepatah yang mengatakan banyak anak banyak rezeki. Saya pun kok tidak begitu “percaya”. Karena yang saya yakini adalah bahwasanya setiap anak mempunyai rezekinya sendiri-sendiri dari Allah SWT. Jika Allah SWT menyempitkan rezekinya sebagai orang tua karena dosa dan maksiat yang ia perbuat, masih bisa difahami.
Tetapi jika Allah SWT menyempitkan rejeki anak-anaknya yang notabene masih polos tanpa dosa, maka hal tersebut diyakininya sebagai suatu hal yang tidak mungkin. Maka sesungguhnya ia lah yang “menumpang” pada rezeki anak-anaknya, dan sungguh sombong dan tidak bijak jika dikatakan anak-anak hanyalah merepotkan orangtua dengan menghabiskan biaya hidup yang cukup banyak dan sebagainya.
Me ’manage’ sebuah keluarga, intinya ada 2 yaitu memelihara garis hubungan antar anggota keluarga dan komunikasi dialogis dalam keluarga. Jika sebuah keluarga terdiri dari ayah, ibu dan seorang anak, maka ada 6 garis hubungan positif yang harus dipelihara. Yaitu garis hubungan ayah-ibu, ibu-ayah, ayah-anak, anak-ayah, ibu-anak dan anak-ibu. Kalau salah satu dari garis itu negatif, maka membuka kemungkinan ketidakharmonisan keluarga.
Nah, jika dalam sebuah keluarga terdiri dari kedua orang tua dan 2 bahkan hingga 13 orang anak, dapat dibayangkan, berapa jumlah garis hubungan yang harus dipelihara. Salah satu contoh paling sederhana rusaknya garis hubungan antara anak-anak yang disebabkan oleh orangtua adalah, membanding-bandingkan satu anak dengan saudaranya yang lain.
Komunikasi dialogis diilustrasikan dengan kisah pasangan ‘iteung’ dan ‘kabayan’. Si iteung kesal dengan suaminya si kabayan yang sering gonta ganti baju, tetapi tidak menaruhnya di ember cucian setelah dipakai, akan tetapi malah digantung dikapstok hingga menjadi sarang nyamuk dikamar.
Si iteung pun mengomel tak karuan, padahal "pesan" iteung tidak sampai pada kabayan suaminya. Justru sesampainya dikantor, kabayan tidak konsetrasi bekerja, ia teringat pada iteung istrinya.
“duh...iteung, akang teh sayang sama iteung makanya baju yang akang pake nggak langsung akang taruh di ember cucian. baju batik pan akang pake pas rapat RT sajah, seminggu sekali gak sampe 2 jam, disemprot minyak wangi trus akang gantung bisa dipake lagi. Baju koko juga gitu, dipake pas jumatan aja dan gak sampe 2 jam, disemprot minyak wangi terus digantung bisa dipake lagi jumat depan. Nanti kalo udah 7 kali jumat baru akang taruh di ember cucian" kata kabayan pada dirinya sendiri.
Nah, rumahtangga kabayan-iteung menjadi terganggu keharmonisannya "hanya" karena komunikasi dialogis yang tidak terbangun. Kalau saja iteung mengkomunikasikan keluhannya tentang gantungan baju yang menjadi sarang nyamuk pada kabayan suaminya dengan baik, dan sebaliknya, kabayan menjelaskan mengapa ia melakukan hal tersebut pada iteung istrinya, tentu kejadiannya akan berbeda.
Semoga mendapatkan pencerahan dari kisah Iteung dan Kabayan. Hahhhhh...dasar si kabayan sama iteung mah....tapi kabayan sama iteung mah nggak pernah cerai yah. udah ach, pusing kalau baca kisanya Kabayan dan si iteung. Makasih udah mau baca
:: tulisan ini sudah pernah muncul disini: Keluarga Muslim, Keluarga Modern
0 komentar:
Posting Komentar