Saat itu saya baru memasuki usia 27 tahun, dan bekerja di sebuah Bank asing di Jakarta, sebagai Trainee dengan gaji kecil yang pasti habis di akhir bulan, pas untuk bayar uang Bajaj di kantor pada hari gajian.
Kamar kos saya kecil di sebuah rumah yang kecil dan sedehana.
Bathtub (istilah keren untuk bak mandi) di kamar mandi 'bersama' itu, kecil, plastik berwarna hijau terang, ... ember. Dan setiap kali saya mandi, saya sadar sekali bahwa itu sangat sederhana, tapi saya katakan di dalam hati: “Mario, ini sementara.”
Dalam kesederhaan orang muda yang hidup sendiri di Jakarta, saya berkutat antara mendamaikan diri dengan kemiskinan, dan tampil elegan dalam pergaulan dengan orang-orang kaya yang menjadi nasabah Bank.
Man! ... saya frustrasi super keliling.
Miskin, kuper, impiannya besar tapi minder, bekerja di Bank internasional yang keren, biaya hidup mahal, dan setiap akhir bulan seperti perlu didampingi dokter spesialis jantung sebagai penasihat keuangan.
Setiap hari mata saya nanar memandang Jakarta yang megah, sibuk, dan berkembang cepat. Setiap hari saat bergelantungan di bus saya bertanya, akan jadi apakah aku ini nanti?
Suatu hari, karena campuran menggalaukan dari minder dan impian besar, antara rencana yang rinci dan rasa takut mengenai masa depan, saya turun dari bus di jembatan Semanggi, dan berjalan kaki ke bawah jembatan.
Saat itu, di bawah Semanggi banyak tukang buat stempel, dan saya datangi satu meja yang paling kecil yang mungkin paling murah. Saya sodorkan secarik kertas kecil, untuk dibuatkan stempel.
Kertas itu bertuliskan:
------------------------
MARIO TEGUH
Business Consultant
------------------------
Setelah harga cocok, dia mulai meraut karet setip dengan cutter, yang saya tunggui dengan perasaan orang yang sedang terkatung-katung di laut di malam hari.
Dengan dada yang hampir meledak dengan kebanggan yang saya tidak tahu apa, saya pulang dengan menggenggam stempel setip itu, dengan nafas yang bergema tangis ,dan mata yang basah, di bus itu saya berdoa agar dari stempel di genggaman saya itu, kehidupan ini membaik.
Setelah itu, apa pun yang saya tulis, yang saya kirimkan sebagai memo, proposal, dan laporan ke atasan saya – saya berikan satu lembar kertas kosong di depan dan di belakang, saya jepret, lalu di depan saya stempel:
------------------------
MARIO TEGUH
Business Consultant
------------------------
Dua tahun kemudian, pada usia 29 saya menjadi Service Excellence Coordinator untuk Indonesia di Bank asing tersebut, dan salah satu usulan strategi pengembangan budaya pelayanan prima yang saya susun – ditolak oleh atasan saya.
Saya kecewa, agak bete, tapi saya buat copy-nya, saya taruh selembar kertas kosong di depan dan belakang, saya jepret, dan saya stempel:
------------------------
MARIO TEGUH
Business Consultant
------------------------
Pada usia itu, saya membangun karir kedua sebagai pelatih keterampilan bisnis, dengan arah untuk menjadi Business Consultant, di samping karir utama saya saat itu di Bank.
Lima tahun kemudian – pada usia 34 tahun, pada tahun 1990, proposal yang dulu di tolak atasan saya itu, dibeli oleh perusahaan penerbangan utama di negeri kita, untuk pengembangan budaya dan sistem pelatihan Service Excellence yang diterapkan secara nasional dan internasional, dengan harga total program 115,000.- Dolar Amerika (pada waktu itu). Terima kasih Tuhan.
Maka, adik-adik saya yang baik hatinya,
Apa pun ketakutan Anda mengenai masa depan, atau seberapa minder pun Anda mengenai keadaan Anda sekarang, buatlah atau ambillah sebuah tanda – seperti stempel setip saya itu, sebagai pengingat bahwa Anda sudah memulai rencana Anda, dan akan berlaku setia kepada sikap dan perilaku yang akan menjadikan Anda sebagaimana yang Anda impikan.
Tuhan berperan besar di dalam kehidupan jiwa yang mempercayai keindahan dari impiannya.
Impikanlah yang besar, tapi pastikan Anda memiliki sebuah tanda sederhana sebagai tempat pemberangkatan jiwa Anda.
Kita semua akan sampai, jika kita bergerak.
Maka, bergeraklah.
Tidak masalah apakah gerakan Anda terasa seperti lamban, tapi bergeraklah.
Anda akan sampai.
Mario Teguh
0 komentar:
Posting Komentar