Elizabeth Kenny, seorang perawat yang menciptakan Kenny Methods untuk perawatan penderita polio, suatu hari bertemu dengan sahabatnya, sesama perawat yang sedang marah-marah. Elizabeth tahu beban-beban pekerjaan temannya tersebut, tetapi ia berusaha menasihati supaya temannya tersebut dapat menjaga emosinya. “Ayolah, berusahalah tetap riang dan tersenyum,” kata Elisabeth.
Dengan nada yang masih agak kesal, temannya berkata, “Mudah bagimu untuk mengatakannya. Dengan beban sebanyak ini bagaimana saya nggak marah-marah tiap hari! Namun, saya sendiri bingung, bagaimana caranya kamu bisa menjaga dirimu supaya tetap tersenyum?”
Dengan senyum khasnya, Elizabeth pun bercerita. Suatu ketika ia sedang begitu marahnya pada temannya karena persoalan yang sebenarnya sepele. Lantas, ia dinasihati ibunya yang kini selalu jadi pedomannya, yakni, “Elizabeth, ingatlah. Orang yang bisa membuatmu marah, berarti ia telah menaklukkanmu.”
Pembaca, sebenarnya marah atau tidaknya kita, lebih tergantung pada respon kita daripada penyebabnya. Sayangnya, kita seringkali membiarkan orang lain maupun situasi yang menaklukkan dan mengendalikan tombol kemarahan kita.
Saat di dalam antrean yang panjang, saat mobil kita disalip, saat berdebat untuk hal-hal yang sepele, saat benda yang kita butuhkan justru macet bekerja, saat tidak mendapatkan pelayanan yang kita harapkan, saat kata-kata orang tidak seperti yang kita harapkan, semuanya dengan cepat memicu api kemarahan kita.
Bertahun-tahun melakukan studi tentang kemarahan melalui kecerdasan emosional, membuat saya yakin amarah bukanlah faktor genetik, bukanlah sesuatu yang tak dapat dikendalikan, tetapi suatu proses yang bisa dipelajari. Sayangnya, tidak banyak sekolah ataupun pembelajaran yang mengajarkan bagaimana kita bisa mengelola kemarahan lebih baik. Padahal, akibat serta dampak negatif dari kemarahan tersebut sudah tidak terhitung banyaknya.
Saya mengenal beberapa orang yang sempat mendekam di penjara karena kemarahannya yang tidak terkendali. Saya pun mengenal karyawan yang kariernya mandek hanya karena pernah khilaf dan kehilangan kendali emosinya di depan bosnya.
Ada juga keluarga yang akhirnya retak gara-gara sang suami tidak bisa mengendalikan emosinya. Bayangkan, sudah berapa banyak ongkos yang harus dibayarkan gara-gara emosi yang tidak terkendali ini.
Berpikir positif
Kadang-kadang memang banyak situasi orang lain akhirnya memicu kemarahan kita. Karena cara berpikir mereka yang aneh, karena kata-kata mereka yang menyakitkan, karena tindakan mereka yang membuat ‘panas’ hati Anda. Apa pun tindakan mereka, sebenarnya ada suatu prinsip yang mengajarkan, “Selalu ada intensi yang baik di balik perilaku seseorang”. Meskipun intensi tersebut tidaklah selalu sesuatu yang pas dan bisa Anda terima, tetapi sesuatu itu bisa jadi positif. Misalkan saja, seorang rekan saya belum lama ini kehilangan seekor ikan arwananya yang berharga jutaan rupiah. Gara-garanya sangat sederhana. Ketika ia sedang keluar kota, istrinya mencoba mencuci akuariumnya. Rupanya justru tindakan itu membunuh ikan mahalnya. Saat pulang, ia begitu murka tahu ikan kesayangannya telah mati. Akhirnya, selama seminggu lebih mereka tidak ngomong satu sama lain, karena betul-betul merasa marah.
Jadi, prinsip pertama yang perlu dipelajari di sini adalah melihat adanya intensi atau niat baik di balik perilaku maupun tindakan seseorang. Dengan cara ini, biasanya level kemarahan kita yang tinggi akan lebih terkendali karena akhirnya kita mulai mecoba melihat bahwa ada alasan yang ’sebenarnya baik’ di balik perilaku seseorang tersebut.
Seperti kisah si istri yang mencuci akuarium suaminya, sebenarnya kan maksudnya baik yakni ‘membersihkan akuarium kotor sehingga ikannya tidak mati’. Namun justru perilaku tersebut membuat ikan suaminya malah mati. Maksudnya si istri sebenarnya kan baik?
Nah, hal berikutnya yang dapat mengendalikan emosi kita adalah memahami bahwa terkadang orang mempunyai banyak masalah dan problem yang di lemparkannya kepada kita. Yang sebenarnya punya masalah dan punya problem adalah orang lain, tetapi karena tidak tahu harus mengeluarkannya ke mana, akhirnya kitalah yang kena getahnya. Dengan memahami hal ini, maka kita pun akan menjadi lebih tenang menghadapi orang lain yang kesal ataupun marah.
Saya pun teringat seorang yang bekerja di bagian customer service yang selalu bisa mengendalikan dirinya dengan baik tatkala menghadapi komplain yang begitu banyak. Saat ditanya mengenai strateginya, ia mengatakan, “Kenapa harus menanggapi orang marah dengan kemarahan? Kita kan tidak apa-apa. Mungkin pihak dianya sedang ribut dengan istri dan anaknya.”
Mungkin dia lagi punya masalah di kantor. Bayangkan, dia mungkin punya masalah dan ternyata produk kami membuatkan masalah ‘baru’ buat dirinya. Itulah sebabnya dia jadi marah-marah. “Saya tidak perlu gusar. Tugas saya justru membantu melegakan bebannya dengan memberikan solusi buatnya.” Wow, sungguh suatu respons yang sangat luar biasa.
Termometer emosimu
Saya sering kali mengajari orang mengendalikan emosi dengan teknik membayangkan seakan-akan dalam tubuh kita terdapat sebuah termometer yang dapat mengukur emosi kita. Berikanlah batas-batas pada termometer emosi kita di mana kita tahu emosi kita masih termasuk wajar dan terkendali. Namun, sadarilah dan waspadalah tatkala kita merasa bahwa termometer emosi kita sudah menunjukkan tanda-tanda alarm yang berbahaya. Untuk bisa peka dengan termometer ini, satu-satunya cara adalah dengan menjadi peka kapankah tanda-tanda bahasa tubuh, reaksi fisik di mana biasanya berarti emosi Anda mulai tidak terkendali.
Seorang sahabat saya mengatakan, “Kalau saya mulai diam dan jantung saya mulai berdegup kencang dan seluruh tubuh saya rasanya siap untuk memukul. Saat itulah saya tahu, kemarahan saya sudah di ambang batas”.
Biasanya kalau sudah begitu, teman saya mengatakan ia akan minta izin keluar ataupun pergi meninggalkan situasi tersebut supaya ia tidak perlu lebih terpicu emosinya. Bahkan, kalau tidak punya pilihan maka yang ia akan lakukan adalah duduk serta mengatur pernapasannya. Intinya, ia berusaha supaya emosinya tidak terpicu semakin ebih tinggi.
Memang, di dalam pelajaran Kecerdasan Emosional terdapat istilah eskalator emosi, yang berarti pada saat emosi kita tidak kita kendalikan, kecenderungannya adalah emosi tersebut biasanya akan menjadi semakin tereskalasi atau semakin meninggi. Kalau tidak percaya cobalah perhatikan orang yang berantem. Awalnya, hanya saling mengejek. Lantas dari situ, mulailah saling memaki dan berikutnya mulailah tindakan fisik terjadi.
Ini menunjukkan proses eskalator emosi, seperti eskalator yang bergerak naik di malmal. Kalau sudah demikian, maka kita harus sadar sebelum eskalator emosi kita bergerak ke atas semakin tak terkendali, kita harus menghentikannya dan kita harus keluar dari eskalator tersebut.
Semoga beberapa butir mutiara pencerahan dari kecerdasan emosional ini membuat kita mampu mengendalikan kemarahan kita menjadi sesuatu yang lebih positif. Mari kita selalu berpegang pada prinsip, “Bukan emosi yang mengendalikan saya tetapi sayalah yang mengendalikan emosi saya setiap hari!”
0 komentar:
Posting Komentar