Menyusul ketidakpastian cuaca serta maraknya kekerasan di mana-mana, banyak yang bertanya apa benar ilmu pengetahuan telah membuat manusia semakin beradab? Apa benar spiritualitas sudah membuat manusia semakin lembut?
Bertanya tentu saja baik. Namun bila boleh jujur, kekerasan dan ketidakpastian hadir di setiap putaran waktu. Termasuk di zaman ketika para nabi lahir. Sehingga menuduh berlebihan bahwa kekerasan dan ketidakpastian hanya hadir di zaman ini saja, sungguh sebuah masukan untuk mendalami sejarah lebih dalam lagi. Bedanya dengan orang kebanyakan, para bijaksana mengolah kekerasan dan ketidakpastian sebagai bahan-bahan pertumbuhan. Seperti peramu tetumbuhan yang mengolah akar beracun menjadi obat.
Menyangkut sesuatu yang hadir di setiap zaman, serta manusia tidak bisa menghindarinya, tidak ada pilihan lain kecuali mendidik diri untuk cerdas mengolah putaran zaman. Ini juga dilakukan oleh pemimpin-pemimpin agung. Mahatma Gandhi tidak lari dari ancaman senjata tentara Inggris. Nelson Mandela tidak bergeming ketika dipenjara selama dua puluh tujuh tahun. Bunda Teresa berjalan terus ketika dituduh keras kepala. Dan ada yang sama dari pemimpin-pemimpin agung ini, yakni kecermatannya untuk mengolah racun zaman menjadi tauladan zaman.
Disamping itu, sepanas dan sekeras apa pun kehidupan, mereka semua selalu kembali pada payung kelembutan. Tidak saja karena itu diajarkan semua agama dan semua nabi, melainkan karena kelembutanlah sifat alami semua mahluk di alam ini. Perhatikan binatang paling ganas sekalipun seperti harimau dan serigala. Tanpa takut akan neraka dan serakah akan surga, mereka juga menyayangi anak-anaknya. Dan menemukan kebahagiaan dalam kegiatan menyayangi.
Itu sebabnya, mahluk disebut tercerahkan bila ia sudah termurnikan dan tersempurnakan. Maksudnya, sudah kembali ke sifat alaminya yang penuh kasih sayang. Dalam bahasa lain, sudah balik pulang ke payung kelembutan. Kemudian tidak saja sejuk memayungi diri, juga lembut memayungi orang lain. Ini yang menyebabkan kenapa sebagian orang kaya Indonesia berobatnya ke Singapura, sebagian orang berduit menyekolahkan putera-puterinya ke Australia, sebagian orang berpunya merasa lebih aman menyimpan uangnya di Swiss. Tidak ada hal lain yang dicari kecuali mau berteduh sejuk dan aman di bawah payung kelembutan.
Manajemen rumah sakit sebagai contoh, sudah lewat zamannya di mana dokter hanya memandang pasien dengan tatapan mata pas-pasan. Sekolah sebagai contoh lain, akan pasti ditinggalkan bila guru dan dosennya hanya meminta murid jadi tukang foto kopi. Bank lebih-lebih lagi. Tanpa payung kelembutan, di luar negeri ada berlimpah bank yang menyediakan payung pelayanan penuh kelembutan.
Bercermin dari rangkaian bukti seperti ini, kendati sudah terlambat, tidak ada salahnya untuk segera mendidik diri dan organisasi untuk senantiasa pulang berteduh ke sifat alami semua mahluk yang bernama payung kelembutan. Seorang guru yang sudah lama pulang, aman, nyaman dalam lindungan payung kelembutan pernah menulis: “Whenever there is a moment of being content, whenever there is a moment of feeling this is all right, that is a moment of happiness“. Apa pun boleh terjadi dalam kehidupan, namun bila manusia senantiasa melatih diri merasa berkecukupan, dan mengatakan semuanya baik-baik saja, itulah saat-saat yang membahagiakan.
Tidak semua orang kaya bahagia, kerap orang kaya lebih sulit menemukan payung kelembutan, karena kekayaan membuat seseorang sulit merasa berkecukupan. Yang lebih celaka bila orang miskin serakah. Kehidupan kemudian berputar dari satu kejahatan ke kejahatan lain. Makanya ada yang berbisik, kebutuhan sesungguhnya sedikit. Namun keinginan tidak ada ujungnya. Seorang sahabat yang telah lama menyatu dengan payung kelembutan berpesan: whenever we feel deeply at ease with ourselves, that is the true holiday. Tatkala seseorang berpelukan rapi dengan kelebihan sekaligus kekurangannya, itulah liburan sesungguhnya.
Bahan renungan:
1. Kelembutan adalah sifat alami semua mahluk. Bahkan singa dan harimau menyusui keturunannya dengan kelembutan dan menemukan kebahagiaan di sana.
2. Ia yang keras mendidik diri sendiri agar lembut ke orang lain, bahkan keras mendidik diri agar lembut ke orang yang menyakiti sekali pun, sesungguhnya sudah pulang.
3. Di rumah seperti inilah, manusia bisa menemukan liburan yang sesungguhnya.
Bertanya tentu saja baik. Namun bila boleh jujur, kekerasan dan ketidakpastian hadir di setiap putaran waktu. Termasuk di zaman ketika para nabi lahir. Sehingga menuduh berlebihan bahwa kekerasan dan ketidakpastian hanya hadir di zaman ini saja, sungguh sebuah masukan untuk mendalami sejarah lebih dalam lagi. Bedanya dengan orang kebanyakan, para bijaksana mengolah kekerasan dan ketidakpastian sebagai bahan-bahan pertumbuhan. Seperti peramu tetumbuhan yang mengolah akar beracun menjadi obat.
Menyangkut sesuatu yang hadir di setiap zaman, serta manusia tidak bisa menghindarinya, tidak ada pilihan lain kecuali mendidik diri untuk cerdas mengolah putaran zaman. Ini juga dilakukan oleh pemimpin-pemimpin agung. Mahatma Gandhi tidak lari dari ancaman senjata tentara Inggris. Nelson Mandela tidak bergeming ketika dipenjara selama dua puluh tujuh tahun. Bunda Teresa berjalan terus ketika dituduh keras kepala. Dan ada yang sama dari pemimpin-pemimpin agung ini, yakni kecermatannya untuk mengolah racun zaman menjadi tauladan zaman.
Disamping itu, sepanas dan sekeras apa pun kehidupan, mereka semua selalu kembali pada payung kelembutan. Tidak saja karena itu diajarkan semua agama dan semua nabi, melainkan karena kelembutanlah sifat alami semua mahluk di alam ini. Perhatikan binatang paling ganas sekalipun seperti harimau dan serigala. Tanpa takut akan neraka dan serakah akan surga, mereka juga menyayangi anak-anaknya. Dan menemukan kebahagiaan dalam kegiatan menyayangi.
Itu sebabnya, mahluk disebut tercerahkan bila ia sudah termurnikan dan tersempurnakan. Maksudnya, sudah kembali ke sifat alaminya yang penuh kasih sayang. Dalam bahasa lain, sudah balik pulang ke payung kelembutan. Kemudian tidak saja sejuk memayungi diri, juga lembut memayungi orang lain. Ini yang menyebabkan kenapa sebagian orang kaya Indonesia berobatnya ke Singapura, sebagian orang berduit menyekolahkan putera-puterinya ke Australia, sebagian orang berpunya merasa lebih aman menyimpan uangnya di Swiss. Tidak ada hal lain yang dicari kecuali mau berteduh sejuk dan aman di bawah payung kelembutan.
Manajemen rumah sakit sebagai contoh, sudah lewat zamannya di mana dokter hanya memandang pasien dengan tatapan mata pas-pasan. Sekolah sebagai contoh lain, akan pasti ditinggalkan bila guru dan dosennya hanya meminta murid jadi tukang foto kopi. Bank lebih-lebih lagi. Tanpa payung kelembutan, di luar negeri ada berlimpah bank yang menyediakan payung pelayanan penuh kelembutan.
Bercermin dari rangkaian bukti seperti ini, kendati sudah terlambat, tidak ada salahnya untuk segera mendidik diri dan organisasi untuk senantiasa pulang berteduh ke sifat alami semua mahluk yang bernama payung kelembutan. Seorang guru yang sudah lama pulang, aman, nyaman dalam lindungan payung kelembutan pernah menulis: “Whenever there is a moment of being content, whenever there is a moment of feeling this is all right, that is a moment of happiness“. Apa pun boleh terjadi dalam kehidupan, namun bila manusia senantiasa melatih diri merasa berkecukupan, dan mengatakan semuanya baik-baik saja, itulah saat-saat yang membahagiakan.
Tidak semua orang kaya bahagia, kerap orang kaya lebih sulit menemukan payung kelembutan, karena kekayaan membuat seseorang sulit merasa berkecukupan. Yang lebih celaka bila orang miskin serakah. Kehidupan kemudian berputar dari satu kejahatan ke kejahatan lain. Makanya ada yang berbisik, kebutuhan sesungguhnya sedikit. Namun keinginan tidak ada ujungnya. Seorang sahabat yang telah lama menyatu dengan payung kelembutan berpesan: whenever we feel deeply at ease with ourselves, that is the true holiday. Tatkala seseorang berpelukan rapi dengan kelebihan sekaligus kekurangannya, itulah liburan sesungguhnya.
Bahan renungan:
1. Kelembutan adalah sifat alami semua mahluk. Bahkan singa dan harimau menyusui keturunannya dengan kelembutan dan menemukan kebahagiaan di sana.
2. Ia yang keras mendidik diri sendiri agar lembut ke orang lain, bahkan keras mendidik diri agar lembut ke orang yang menyakiti sekali pun, sesungguhnya sudah pulang.
3. Di rumah seperti inilah, manusia bisa menemukan liburan yang sesungguhnya.
0 komentar:
Posting Komentar