Beberapa waktu yang lalu, saya membeli dan menonton film yang sedang heboh saat ini, yakni Kungfu Panda. Semua orang yang telah menontonnya tentu tahu kalau film ini sangat memikat dan penuh dengan pesan moral.
Ada satu pesan yang saya rasa sangat mengena dengan diri saya. Pesan itu diucapkan master Oogway kepada master Shi Fu. Master Shi Fu mengatakan bahwa pemilihan Po menjadi prajurit naga adalah suatu kesalahan. Tetapi apa yang dikatakan master Oogway?
“TIDAK ADA YANG NAMANYA KESALAHAN.”
Saya tersentak mendengar kata-kata itu. Tidak ada yang namanya kesalahan???
Saya jadi teringat pengalaman saya sendiri saat memutuskan berhenti kuliah dari jurusan Arsitektur Universitas Atma Jaya Yogyakarta, tahun 2005. Saat itu dengan na’ifnya saya yang hanya anak seorang petani biasa, memilih masuk universitas mahal. Setelah sekitar dua bulan kuliah, saya mulai menyadari kalau biaya yang dibutuhkan sangat banyak dan “di atas” kemampuan orang tua saya.
Baru dua bulan kuliah, seluruh tabungan orang tua saya, yang mereka kumpulkan sejak awal berkeluarga, sudah habis. Bayangkan, baru dua bulan kuliah. Pada hal, waktu kuliah minimum untuk jurusan arsitek adalah sekitar 3 – 5 tahun. Itu minimal. Kalo maksimal bisa 8 tahun. Atau lebih.
Kalau sekarang saja tabungan telah habis, bagaimana dengan biaya-biaya selanjutnya? Orang tua sudah memasuki masa ‘senja’. Ada dua adik yang sedang duduk di bangku SMA. Bagaimana cara yang tepat untuk mengatasi masalah ini? Hal ini terus menghantui pikiran saya setiap hari. Saya merasa sedikit bersalah, tanpa pertimbangan yang matang memilih masuk jurusan Arsitektur di universitas sekelas Atma Jaya, yang membutuhkan biaya yang mahal.
Akhirnya terlintas di pikiran untuk berhenti kuliah. Melalui berbagai pertimbangan dari berbagai sudut pandang yang saya miliki saat itu, saya pikir itulah jalan terbaik. Keputusan untuk berhenti kuliah bukanlah keputusan yang mudah, tetapi saya pikir itulah solusi terbaik.Setelah bergolak di dalam diri selama beberapa minggu, akhirnya saya memutuskan berhenti kuliah. Saya tidak berkonsultasi dengan orang tua atau pun teman-teman mengenai masalah ini. Saya mengambil keputusan sendiri.
Buku Rich Dad Poor Dad lah yang menguatkan saya untuk berhenti kuliah. Buku itu saya beli ketika ada pameran buku di kampus. Saya membacanya berulang kali. Membaca buku itu membuat saya yakin dengan keputusan saya untuk berhenti kuliah. Katanya, sekolah tidaklah menjamin seseorang cerdas secara financial. Seseorang bisa berpendidikan tinggi, namun tidak tinggi dalam pengetahuan tentang uang.
Untuk menjadi kaya, matematika kelas lima dan akal sehat saja sudah cukup, ditambah pengetahuan tentang uang dan cara kerjanya. Jadi, berhenti kuliah pun tidak akan membuat saya gagal atau miskin, begitulah yang saya pikirkan saat itu.
Yang penting saya tetap menambah pengetahuan saya melalui berbagai buku pengembangan diri. Saya sangat yakin akan keputusan tersebut.
Setelah tidak kuliah, saya menghabiskan waktu setiap hari dengan membaca berbagai buku pengembangan diri. Teman-teman saya mengira saya masih kuliah. Setiap hari saya berangkat dari kost, tapi bukan ke kampus, melainkan ke toko buku. Atau pun kalau ke kampus, saya tidak masuk kelas, melainkan ke perpustakaan. Orang tua terus mengirimkan uang karena mereka mengira saya masih kuliah.
Setelah beberapa bulan tidak kuliah, saya mengambil kursus akuntansi dan pajak di salah satu lembaga kursus di Jogja. Mengikuti saran Kiyosaki, untuk bisa kaya saya harus mengetahui cara kerja uang, jadi saya mempelajari akuntansi dan pajak yang merupakan keunggulan orang kaya dibandingkan dengan kelas menengah dan orang miskin. Saya merasa sedikit tenang karena setidaknya uang yang orang tua kirimkan ada manfaatnya, yaitu untuk biaya kursus.
Selesai kursus, saya dan para peserta lain dipekerjakan oleh pemilik kursus di kantor konsultan pajak miliknya. Di sini teori yang telah kami pelajari semakin dimantapkan dengan praktek secara langsung. Saya merasa beruntung memilih kursus di sini.
Namun….
Kadang muncul perasaan takut dalam diri saya. Bagaimana cara saya menyampaikan kepada orang tua saya bahwa saya sudah berhenti kuliah? Jangan-jangan keputusan untuk berhenti kuliah adalah suatu keputusan yang salah. Bagaimana tanggapan orang tua dan keluarga terhadap keputusan saya ini?
Pikiran-pikiran itu terus mendera batinku. Kecemasan sering datang dan hinggap di hati. Saya mulai merasa ketakutan akan apa yang telah saya perbuat. Bagaimana tanggapan orang tua setelah semua uang yang telah dikeluarkan, bahwa inilah hasilnya. Saya OD (out dhewe). Yang paling menakutkan adalah kalau orang tua sampai stress lalu stroke. Wow.. benar-benar menakutkan.
Terkadang tengah malam saya terbangun dan memikirkan hal itu. Saat itu menjadi saat-saat yang berat dalam hidup saya. Jangan-jangan saya telah melakukan sebuah kesalahan besar. Bagaimana dengan masa depan saya. Apa yang salah dengan hidup saya. Doa menjadi satu-satunya sandaran bagi saya.
Suatu hari sementara kerja, saya ditelepon oleh seorang pria yang mengaku dari kantor pusat Fren (saat itu hp saya menggunakan kartu Fren) yang mengatakan bahwa saya memenangkan hadiah satu juta rupiah dari Fren, dan pajak hadiah ditanggung pihak Fren. Hati kecil saya mengatakan bahwa itu tidak benar. Tapi entah mengapa saya mempercayainya.
Orang itu menanyakan apakah saya memiliki kartu ATM. Saya mengatakan ya, saya memiliki ATM BNI. Lalu pria di ujung telepon meminta nomor kartu ATM saya beserta nama lengkap. Kemudian saya diminta untuk ke ATM sekarang juga untuk mengecek hadiah yang telah dijanjikan. Sekali lagi hati kecil saya melarang. Tapi entah kenapa saya menuruti perkataan pria misterius itu.
Jalan menuju ATM BNI melewati counter FREN untuk wilayah Jogja. Sempat juga terlintas di benak untuk menanyakan kepastian hadiah itu ke bagian customer servicenya. Tapi lagi-lagi entah mengapa saya mengabaikannya.
Setibanya di ATM saya dihubungi lagi oleh pria tersebut. Saya dibimbing memasukan kode-kode tertentu ke mesin ATM. Lucunya pada saat itu saya sempat menanyakan kepada pria di ujung telepon bahwa jangan-jangan ini adalah penipuan. “Ini sungguhan,” jawab pria tersebut. Ternyata memang saya sedang ditipu.
Pria tersebut meyakinkan saya bahwa ini benar-benar benar. Lagi-lagi ada suara kecil di dalam diri yang mengatakan kalo hal itu tidak benar. Tapi sekali lagi saya abaikan dan memilih mempercayai pria misterius itu.
Setelah memasukan kode seperti yang diinstruksikan, ternyata saldo saya tidak bertambah. Saya menanyakan hal tersebut, namun dijawab bahwa sedang dalam proses. Dan saya diminta untuk menunggu beberapa jam. Lalu saya kembali ke tempat kerja.
Namun sebelum saya kembali ke tampat kerja, saya mengambil sebagian tabungan saya. Sisanya saat itu sekitar lima ratus ribuan. Esoknya saya ke ATM, ternyata saldonya belum bertambah. Dan tidak berkurang juga. Saldonya tetap. Seminggu kemudian saya mengecek lagi di ATM, ternyata saldonya masih tetap sama.
Masa kontrak kost saya akan berakhir. Dan saya berencana untuk melanjutkan kontrak setahun berikutnya. Kemudian saya menghubungi orang tua saya untuk mengirimkan uang untuk tujuan tersebut. Ayah saya lalu mentransfer uang senilai 1.700.000. Beliau meminta agar saya segera mengambil uang tersebut. Karena masih ada uang di tangan dan masa kontrak kost masih kira-kira dua minggu lagi, jadi saya tenang-tenang saja. Saya biarkan uang tetap di bank.
Suatu malam saya berencana ke ATM untuk mengecek uang tersebut. Sungguh terkejutnya saya menyadari bahwa dompet saya tidak ada. Setelah mencari di seisi kamar, tetap tak ditemukan. Dompet saya jatuh dan mungkin sudah hilang dan diambil orang. Dan kartu ATM tersimpan di dompet tersebut. Mampus deh….
Tapi saya tidak kehabisan akal. Langsung saya hubungi customer service BNI dan minta kartu ATM saya dibekukan. Ah… untuk sementara saya aman. Uang masih ada. Uang yang di dompet nilainya tidak terlalu banyak.
Eh..ternyata dompet saya jatuh di tempat kerja, dan besoknya dikembalikan oleh cleaning service kantor. Terima kasih Tuhan, dompetku kembali.
Akhirnya hari terakhir masa kontrak kost pun tiba. Saya diharuskan membayar untuk masa kontrak yang baru. Selesai sarapan saya ke BNI. Karena ATM telah dibekukan, saya membawa buku Tabungan. Sebelum menarik uang, saya minta dicetak data-data transaksi ke buku tabungan saya.
Sungguh terkejutnya saya. Jantung serasa mau copot. Bumi terasa berhenti berputar. Pagi yang cerah terasa gelap.
Saldo yang tertera di buku tabungan adalah empat puluh tujuh ribu dan sekian ratus rupiah. Lalu uang Rp 1.700.000,- yang baru ditransfer ayah saya kemana???????
Ternyata telah didebit ke rekening seseorang. Saya merasa dan yakin tidak pernah melakukan apa-apa atas uang tersebut. Masih teringat jelas bagaimana sedihnya hatiku saat itu. Hampir saja saya menangis di depan kasir. Akan tetapi, saya tahan. Ternyata uang saya telah ditarik oleh seseorang di Jakarta.
Langsung saya minta rekening saya ditutup saat itu juga. Perasaanku campur aduk. Antara sedih, sesal, marah dan sebagainya. Sampai saya bingung bagaimana menggambarkan betapa berat yang saya rasakan saat itu. Bayangkan anda di perantauan, jauh dari orang tua, dan tidak memiliki uang. Gaji dari kerjaan sangat kecil dan hanya cukup untuk makan sehari. Itu pun kalau irit banget. Hariku terasa gelap-gulita.
Terbayang kesedihan orang tua yang telah bekerja keras untuk mengumpulkan uang sebanyak itu, dan sekarang hilang begitu saja. Dan saya berkontribusi atas hilangnya uang tersebut. Hatiku sangat sedih. Bukan atas uang itu, tetapi atas kerja keras orang tua saya. Mereka tentu akan sangat kecewa, ditambah lagi saya sudah DO kuliah tanpa memberitahu mereka. Saya menangis.
Hal itu membuat saya semkin yakin kalau keputusan untuk berhenti kuliah adalah keputusan yang salah. Saya telah melakukan kesalahan. Kesalahan yang besar. Inilah hukumannya.
Dalam keadaan seperti itu, saya tidak punya pilihan lain selain memberi tahu orang tua kalo uang sudah diambil orang. Uang hilang.
Persis seperti yang saya bayangkan, orang tua sangat kecewa dan marah.
“Kami telah bekerja keras setiap hari untuk mengumpulkan uang tersebut. Walaupun sakit kami tetap bekerja. Dan sekarang uang itu hilang begitu saja. Kau tahu kita ini petani, mengumpulkan uang sebanyak itu membutuhkan kerja keras dan waktu yang lama. Memang kau pikir kami punya gaji seperti pegawai negeri? Sekarang adik-adikmu juga mau ujian. Mereka minta uang sekolah. Kami benar-benar pusing!”, kata ayah saya.
Betapa sedih hati saya mendengar kata-kata itu. Sedih telah mengecewakan orang tua. Ayah saya adalah seorang yang tidak banyak bicara. Kalau marah lebih memilih diam. Kalau dia sampai berkata seperti itu, berarti betapa marahnya dia. Betapa kecewanya dia. Saya merasa berdosa.
Kabar hilangnya uang tersebut menyebar dengan cepat ke semua anggota keluarga. Mereka menelpon saya, menanyakan kebenaran hal tersebut. Dan sebagai anggota keluarga yang baik mereka merasa berkewajiban menasihati saya. Nasihat yang sudah bosan saya dengar. Karena saking banyaknya. Yang saya butuhkan adalah uang. Tetapi tidak ada satu orang pun yang memberi saya uang.
Akhirnya terpaksa orang tua saya mengirim lagi uang untuk saya. Walaupun mereka sangat kecewa dengan kejadian kehilangan itu tetapi, mereka masih mencintai saya. Saya merasa sangat beruntung memiliki orang tua seperti mereka.
Saya tetap bekerja di kantor konsultan pajak. Akan tetapi, saya masih bingung bagaimana caranya untuk memberitahu orang tua kalau saya sudah tidak kuliah lagi. Sebenarnya saya takut memberi tahu hal itu. Rasanya bukan saat yang tepat sekarang ini. Saya tahan saja dulu. Biarkan orang tua jangan tahu dulu akan hal itu.
Kemudian saya berpikir, saya tidak mungkin dapat hidup layak kalau terus bekerja di tempat kerja yang sekarang. Gajinya sangat kecil karena kami hanya magang di situ. Bukan karyawan tetap. Tapi… mau ke mana?
Siapa yang mau menerima saya menjadi karyawannya. Pengalaman saya sangat minim, bahkan bisa dibilang tidak berpengalaman. Bagaimana ini? Saya sangat tidak percaya diri saat itu.
Saya terus memikirkan jalan keluar untuk masalah itu beberapa hari berikutnya. Saya juga meminta bantuan Tuhan dalam doa. Selama saya berusaha memecahkan masalah itu, tidak terjadi apa pun dalam hidup saya. Semua berjalan sebagaimana biasanya. Saya juga belum menemukan jalan keluar yang meyakinkan.
Sampai pada suatu siang, Bapak pemilik kursus dan kantor konsultan tempat kami bekerja menelepon. Ternyata tujuan beliau menelepon adalah untuk mengajak seorang rekan kursus saya untuk bekerja di Jakarta. Yang aneh adalah tanpa saya ketahui, teman saya tersebut memilih saya untuk bersama dia mengisi lowongan yang ditawarkan. Dia memang cukup dekat dengan Bapak pemilik Kursus.
Memang lowongan yang ditawarkan untuk dua orang. Tapi… saya tidak tahu mengapa dia memilih saya. Ada beberapa teman kursus lain yang juga bekerja di situ, tapi dia malah memilih saya. Terima kasih Tuhan…ternyata Engkau menjawab doaku.
Singkat cerita…
Saya akhirnya punya cukup uang dan sekarang kuliah lagi sambil bekerja. Biaya kuliahnya saya bayar sendiri. Saya punya cukup uang untuk mengikuti Super Camp Becoming a Money Magnet, sebuah seminar tiga hari yang sangat luar biasa dan mencerahkan pikiran saya.
Dan hidup saya terasa lebih indah sekarang ini. Hal seperti ini terasa begitu sulit untuk digapai saat masih di Jogja.
Saya akhirnya mengatakan yang sebenarnya kepada orang tua bahwa saya sudah berhenti kuliah dari Atma Jaya. Mereka cukup terkejut awalnya. Mereka kecewa dengan keputusan saya. Namun saya jelaskan bahwa sekarang saya sudah kuliah lagi dan dengan biaya sendiri. Akhirnya keterkejutan dan kekecewaan mereka sedikit mencair, dan mereka mendukung saya. Namun, sepertinya mereka terpaksa..
Saya merasa dukungan mereka benar-benar tulus setelah saya membersihkan “duri-duri” di sepanjang hubungan kami, ketika SC di puncak. Seminggu setelah SC, saya berbicara dengan ibu saya di telepon. Dan kalimat yang benar-benar di luar dugaan saya adalah ketika ibu saya berkata;
“Saya dan ayahmu semalam berbincang-bincang tentang kamu. Dan kami pikir keputusanmu untuk berhenti kuliah dan ke Jakarta adalah pilihan yang tepat. Kami memang telah kesulitan mencari uang. Apalagi masih ada dua adikmu yang bersekolah. Kami malah merasa bersyukur akhirnya kamu mampu kuliah tanpa bantuan kami. Jaga dirimu baik-baik. Jangan lupa berdoa dan bersyukur kepada Tuhan. Kami hanya bisa mendukungmu dalam doa.”
Ah… rasanya legah banget. Akhirnya orang tua mendukung tindakan saya. Sebelumnya saya selalu berusaha membuat mereka mendukung keputusan saya. Mereka mengatakan mendukung, namun saya merasa mereka tidak benar-benar mendukung saya sepenuhnya.
Akhirnya, keputusan yang dulu saya pikir adalah suatu KESALAHAN, ternyata bukanlah demikian. Saya merasa bersyukur karena dulu berani mengambil keputusan untuk “keluar” dari Atma Jaya. Saya bahagia dengan keadaan saya saat ini. Saya jadi lebih bijak sekarang. Entah apa yang akan terjadi kalau saya tidak berani DO…
Saya kira benar yang dikatakan master Oogway, TIDAK ADA YANG NAMANYA KESALAHAN. Just need to believe… Bukankah akhirnya Po sukses membungkam Thai Lung?
Apa pun yang kita yakini dapat kita lakukan…LAKUKANLAH. Keyakinan itulah yang akan memberi kita kekuatan untuk bertahan dan terus maju menggapai impian kita.
**********************************************************************************
Maaf kalau ada kata atau kalimat yang kurang tepat. Semoga sharing saya ini bisa bermanfaat bagi yang membaca.
Hermanus Y Lobo
SPIRITUAL MOTIVATOR
eMail : hermanusylobo@gmail.com
*Segala sesuatu yang terjadi adalah yang terbaik untuk kita. Semuanya akan membawa kita semakin dekat dengan tujuan hidup kita. Percayalah bahwa semua akan baik-baik saja.*
0 komentar:
Posting Komentar