Saya memiliki kenangan yang sangat menyentuh dengan ayah saya. Kenangan itu tercipta hampir dua puluh tahun yang lalu. Saya belum masuk sekolah saat itu, kira-kira baru berusia tiga atau empat tahun.
Kejadiannya begini…
Pada suatu pagi yang cerah dan indah, terjadi hal yang tak terduga. Sesuatu yang di luar kebiasaan keluarga kami.
Ayah saya biasanya sudah berangkat pagi-pagi ke kebun. Kira-kira jam setengah enam atau jam enam pagi beliau sudah pergi. Matahari pun belum terbit saat itu, masih bersembunyi di balik bukit. Selain untuk memindahkan kerbau ke tempat yang memiliki rumput segar, juga untuk mengawasi pengairan di sawah. Nanti sekitar jam sembilan atau jam sepuluh pagi ayah pulang untuk makan pagi.
Ibu saya bangun lebih telat dari ayah. Setelah bangun ibu langsung menyiapkan makan pagi untuk kami semua. Saya dan kakak perampuan saya merupakan orang yang bangun paling akhir. Kami adalah raja dan ratu di rumah. Ya… namanya juga anak-anak.
Setelah bangun biasanya saya ke rumah tetangga menemui teman saya untuk bermain. Kalau teman saya sedang pergi bersama orang tuanya, terpaksa saya main sendirian. Kadang-kadang juga saya main masak-masak bersama kakak perampuan saya.
Akan tetapi… pagi ini berbeda.
Saat ayah bangun, dia membangunkan dan mengajak saya ke kebun. Saya masih ingin tidur saat kami mulai berangkat ke kebun. Mata masih mengantuk. Namun, saya senang diajak ayah.
“Ayah mau tunjukan sesuatu kepada kamu,” kata ayah saya.
Matahari masih tidur di balik bukit. Belum bangun. Tetesan embun dan udara pagi yang dingin menyambut kedatangan kami. Saya masih dibalut selimut… nyaman dan hangat dalam gendongan ayah. Desa kami berada di ketinggian sekitar lima ratus meter di atas permukaan laut. Jadi, di pagi hari sekitar jam enam masih cukup dingin.
Sampai di kebun yang berjarak sekitar dua kilo meter dari rumah, ayah menunjukan sesuatu yang menjadi tujuan kami pagi itu.
“Tadi malam kerbau ayah beranak,” kata ayah. “Inilah yang mau ayah tunjukan ke kamu.” Wajah ayah nampak senang dan bahagia. Saya juga senang dan takjub melihat anak kerbau untuk pertama kalinya.
Menyadari ada yang datang mendekat, sang induk terlihat siaga. Telinganya berdiri tegak. Matanya awas memeriksa keadaan sekitar. Naluri keibuannya nampak. Akan tetapi, setelah mengetahui yang datang tersebut adalah ayah, tuannya, dia terlihat nyaman. Kemudian, melanjutkan acara makan rumputnya.
Anak kerbau terlihat lucu dan imut. Matanya bulat seperti bola ping pong. Dia selalu berada di dekat induknya. Tubuhnya berwarna abu-abu. Tanduknya belum tumbuh. Mirip kancil dalam film kartun. Ini adalah pagi pertamanya. Inilah untuk pertama kalinya dia melihat dunia. Dia mungkin belum tahu kalau ayah adalah tuannya.
Kata ayah, kerbau melewati masa bunting selama sembilan bulan. Sama seperti manusia. Oh ternyata manusia sama dengan kerbau, masa kehamilannya. Itulah pelajaran biologi pertama saya.
Setelah puas melihat anak kerbau, kami pulang ke rumah. Saya dengan penuh kebanggaan bercerita tentang anak kerbau kepada ibu dan kakak. Tidak lupa, saya juga berbagi cerita kepada teman-teman.
Seiring berlalunya waktu, saya pun jadi lupa akan pengalaman itu. Terkubur di dasar memori.
Namun… sekarang, hampir dua puluh tahun berlalu, kenangan itu kembali hidup dalam ingatan. Semuanya tergambar kembali secara jelas. Seolah baru saja terjadi kemarin. Kenangan manis itu juga menghadirkan sebuah pertanyaan singkat tapi dalam… Apa sebenarnya yang mau dikatakan ayah kepada saya saat itu. Apa makna sesungguhnya dari kejadian di pagi yang indah itu.
Kalau hanya untuk melihat anak kerbau, kenapa ayah harus mengajak saya pagi-pagi di saat saya masih terlelap. Kan bisa saja nanti siang atau besoknya. Dan juga mengapa ayah tidak mengajak kakak perampuan saya yang lebih tua sekaligus anak sulung. Mengapa dia hanya mengajak saya. Seolah-olah peristiwa kerbau beranak adalah sesuatu yang sangat penting bagi saya. Bagaimanapun juga, saya hanya seorang anak kecil.
Apa yang sebenarnya ingin ayah perlihatkan kepada saya. Apa makna peristiwa itu. Adakah sesuatu yang bernilai untuk dipetik di sana?
Setelah menelusuri kembali, merenung cukup dalam… akhirnya saya menangkap pesan yang ingin disampaikan ayah. Ya, saya paham sekarang. Saya paham makna tersembunyi dalam kejadian itu.
Ayah adalah orang desa yang hanya tamatan SD. Beliau belum pernah menginjakkan kaki di kota besar. Kota terbesar yang pernah dikunjunginya adalah kota kabupaten. Selain itu, ayah selalu menghabiskan waktunya di desa. Setiap hari ayah bekerja di sawah, bermandikan lumpur dan terik sinar matahari. Berteman dengan kerbau dan burung-burung pemakan padi. Berbagi darah dengan lintah dan nyamuk. Tanpa alas kaki. Hidupnya sangat sederhana.
Sejujurnya… tidak ada banyak hal yang bisa dibanggakan dari sosok ayah seperti itu. Saya pikir, dia juga bingung harus bagaimana membuat saya, anak lelakinya mengagguminya.
Ayah juga pernah bercerita… dulu dia memiliki seekor kuda jantan. Kuda tersebut sering ayah tunggangi dan memiliki stamina yang prima. Ayah sangat sayang pada kuda peliharaannya itu. Namun, suatu hari ayah berubah pikiran. Ayah memutuskan untuk mem-barter kudanya dengan seekor kerbau. Karena nilai kerbau lebih tinggi dari nilai seekor kuda, ayah hanya mendapatkan seekor anak kerbau betina untuk kuda jantannya.
Ayah merawat anak kerbau itu dengan baik. Dan sekarang, setelah beberapa tahun kerbau tersebut beranak untuk pertama kalinya. Peristiwa beranaknya kerbau itulah yang membuat ayah menggendong saya pagi-pagi ke kebun. Ayah ingin saya menjadi orang pertama yang mengetahuinya, selain dirinya dan ibu.
Tidak banyak orang yang bisa memelihara kerbau dengan baik dari kecil sampai dapat beranak. Hanya orang sabar dan penyayang binatang yang dapat melakukannya. Jenis orang seperti itu di desa saya tidak banyak. Dan ayah termasuk dalam kelompok itu. Ayah merasa hal itu cukup menjadi peristiwa untuk dibanggakan di mata anak lelakinya.
Sebenarnya yang ingin ayah katakan dengan menunjukan anak kerbau tersebut adalah “Putraku, ayahmu ini hebat.” Itulah pesan yang saya tangkap setelah merenungnya cukup lama. Ayah ingin dikagumi. Bukan oleh kakak perampuan saya, tetapi oleh saya, putranya, yang akan mewarisi sifat-sifatnya. Yang akan menjadi penerusnya.
Namun, butuh waktu hampir dua puluh tahun bagi saya untuk memahami pesan tersembunyinya itu.
Saya bersyukur dapat memahami kejadian itu sekarang, saat ayah masih hidup. Saya beruntung masih memiliki kesempatan untuk membuat ayah bahagia. Untuk memberikan apa yang dia inginkan. Untuk berterima kasih atas segala pengorbanan dan cinta yang tulus dia curahkan untukku.
Saya ingin ayah tahu kalau sosok seorang ayah adalah hal yang tidak tergantikan dalam hidup seorang anak. Saya ingin dia tahu kalau di lubuk hati yang terdalam saya selalu mengaguminya. Tak peduli sesederhana apa pun dia. Saya juga ingin meminta maaf atas segala kesalahan dan pertengkaran yang saya perbuat. Saya ingin ayah tahu kalau dia adalah ayah yang hebat, penuh cinta dan teladan kehidupan yang mengagumkan.
Ternyata… orang tua juga ingin dikagumi.
www.spiritual-motivasi.blogspot.com
Hermanus Y Lobo
SPIRITUAL MOTIVATOR
eMail : hermanusylobo@gmail.com
0 komentar:
Posting Komentar