Waduh masih seminggu lagi gajiannya. Bulan ini pengeluaran tak terdugaku bukan main banyaknya. Ada saja biaya tambahan yang harus dikeluarkan. Ibu yang sakit, saudara yang butuh bantuan, dan masih banyak lagi. Uang hanya tinggal Rp. 50.000,- lagi, padahal 7 hari lagi baru terima gaji. Kepalaku pusing tujuh keliling. Bagaimana mengelola kebutuhanku selama seminggu ini, terutama untuk makan dan transport. Aku memeriksa persediaan makanan di dapur. Dan yang kutemui hanya beras yang kurasa cukup untuk seminggu. Hatiku sedikit lega. Lauk pauk, tak usah terlalu repot. Aku bisa makan dengan garam, kecap atau bawang goreng atau sambal. Sayuran ada disekitar halaman rumahku, ada kemangi, ada daun kencur, ada kangkung darat, ada cabai, ada tomat. Lumayan pikirku.
Aku bergegas menuju mobil tuaku, untuk segera berangkat ke kantor. Kulihat bensin, ternyata masih penuh, dan membuat aku jadi semakin lega. Paling tidak aku bisa bertahan beberapa hari, itu kalau hanya perjalanan dari rumah ke kantor. Dalam mobil aku berdoa, memohon agar Tuhan memimpin hariku dan menjaga aku agar tidak berbuat dosa, dan yang paling penting, peka terhadap kehendak-Nya.
Tanpa terasa aku sudah sampai di kantor, dan kesibukan rutin seperti hari-hari lalu mulai kujalani. Waktu sudah menunjukkan pukul 12 siang, ketika rekan-rekan sedivisi mengajak aku makan siang. Kutolak dengan halus, mengingat uang yang tinggal sedikit itu. Kupikir aku sudah membawa nasi dan lalapan, cukup kan untuk makan siang hari ini. Tapi ternyata mereka tidak setuju dengan penolakan ku, alasannya demi kebersamaan. Akhirnya aku terpaksa mengikuti mereka, sambil berdoa semoga uangku cukup untuk hari-hari kedepan.
Kami semua sampai di Bakmi GM, blok M, dan sudah mendapatkan meja. Entah mengapa, hatiku gundah sekali. Tapi rasanya bukan karena uang yang tinggal sedikit. Ada kerinduan amat sangat, ada rasa lapar, ada rasa kesepian, aku ingin dipeluk, aku ingin disapa, tapi oleh siapa ? . Dan aku tahu itu bukan perasaanku sebenarnya. Aku berdoa sejenak dalam hati, memohon agar aku peka akan kehendak-Nya. Seperti ada yang menarik, aku beranjak dari tempat duduk ku dan pergi keluar restauran. Kemudian aku menyeberang jalan, dan persis di depan pagar gereja Effata, jantungku berdebar keras, mataku mencari-cari, tanpa tahu persis siapa yang aku cari. Sekejap mataku langsung menatap seorang lelaki muda yang tampaknya tanpa busana, dan menutupi badannya dengan kardus. Matanya nanar, bersimbah air mata. Tangannya tidak tengadah sebagaimana pengemis yang meminta-minta pada orang yang lalu lalang. Bibirnya gemetar, seperti menahan dingin dan lapar. Hatiku teriris, mataku berlinang air mata, dan entah mengapa aku berjalan dengan cepat menuju tempatnya berdiri. Kupeluk ia dengan kencang, sambil berbisik, kukatakan bahwa aku mengasihinya. Tindakanku ini sama sekali bukan karena aku baik, tapi lebih didorong oleh perasaan dalam hatiku yang sulit kujelaskan. Aku tersenyum padanya dan menyuruhnya untuk tetap tinggal disitu sementara aku pergi.
Setengah berlari aku pergi ke dalam pasar, untuk membeli kaos, celana pendek, sarung, sandal jepit, serta nasi bungkus. Kubelanjakan seluruh uangku, dan lucunya masih kembali sebesar Rp. 10.000 rupiah. Namun aku tidak sempat berpikir lama, segera kuambil barang-barang itu dan berlari kembali ke tempat dimana lelaki muda itu berada. Aku membantunya mengenakan pakaiannya, dan menuntun tangannya yang gemetar untuk membuka nasi bungkus dan air minumnya. Tidak ada rasa jijik, tidak ada rasa malu, tidak ada rasa apapun dalam diriku, kecuali rasa kasih yang luar biasa. Setelah beberapa suap, ia mulai tidak lagi gemetar, tapi matanya tetap berair. Katanya, ia berdoa pada Tuhan, supaya Tuhan mau peduli padanya, mau memeluknya, sekalipun ia sudah menjadi orang yang terbuang dan terlupakan. Aku terdiam, sungguh tak dapat berkata apapun. Perasaan yang ada padaku adalah perasaan DIA, yang peduli terhadap anaknya yang terbuang. Kugenggam tangannya dan kuberikan sisa uang Rp. 10.000,- tadi, sambil berkata bahwa aku tidak punya apa-apa yang berharga untuknya. Lalu ia menatapku dengan senyum bahwa ia sudah menerima lebih dari yang diharapkannya. Ia cuma minta dipeluk, cuma minta disapa, sebagaimana manusia lainnya. Lalu aku memohon diri padanya, dan meminta ia untuk selalu berpengharapan pada Tuhan. Kalau IA sudah mengirimku untuk menjadi perpanjangan tangan-Nya, IA pasti akan memelihara dia. Ia mengangguk, dan melambaikan tangan, dan aku menangkap sukacita yang dirasakannya.
Aku kembali ke restauran, dan kulihat sudah ada mie kesukaanku diatas meja. Kulahap habis tanpa basa basi, tanpa juga mengingat uang yang sudah tidak kumiliki. Pikirku, IA pasti memeliharaku. Benar saja, setelah selesai temanku mentraktir kami, karena ternyata ia mendapat promosi jabatan hari ini.
Hari ini aku begitu bahagia, sekalipun tak sepeser pun uang ada padaku. IA menunjukkan padaku bahwa IA memeliharaku. Baik bensin di mobil tuaku, maupun persediaan makanan ku habis persis saat aku gajian. Ajaib ya …IA sungguh Allah yang ajaib dan IA benar-benar mengasihiku. Aku teringat firman-Nya dalam Matius 25 : 36-40, “Ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku. Maka orang-orang benar itu akan menjawab Dia, katanya : Tuhan, bilamanakah kami melihat Engkau makan, atau haus dan kami memberi Engkau minum ? Bilamanakah kami melihat Engkau sebagai orang asing, dan kami memberi Engkau tumpangan, atau telanjang dan kami memberi Engkau pakaian ?. Bilamanakah kami melihat Engkau sakit atau dalam penjara dan kami mengunjungi Engkau ?. Dan Raja itu akan menjawab mereka : Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.”
Sekarang aku tahu apa arti firman itu bagiku. IA telah mengajarkan padaku untuk melakukannya, tanpa perlu merasa kuatir, serta percaya penuh atas penyelengaraan-Nya. Aku bersyukur dan dalam hati berjanji, untuk selalu peka terhadap kehendak-Nya. Terima kasih Tuhan, bisikku lirih.
0 komentar:
Posting Komentar