Kisah nyata yang dijadikan contoh kali ini cerita pengalaman Dr. Arun Gandhi, cucu Mahatma Gandhi. Waktu berumur 16 tahun ,beliau tinggal bersama orangtuanya di pedalaman, di tengah kebun tebu, 18 mil di luar kota Durban, Afrika Selatan. Suatu hari ayah Dr. Arun meminta tolong mengantar menghadiri konferensi sehari penuh. Ibunya menitipkan daftar belanjaan. Selain itu beliau juga diminta memperbaiki mobil di bengkel.
Setiba di tempat konferensi ayah Dr. Arun berkata bahwa beliau menunggu di sana jam 5 sore. Mereka akan pulang bersama-sama. Dr. Arun segera menyelesaikan pekerjaan yang diberikan oleh ayah dan ibunya. Kemudian pergi ke bioskop. Film yang menarik membuatnya lupa waktu. Waktu telah menunjukkan pukul 17.30 ketika Dr. Arun berlari menuju bengkel. Saat menjemput ayahnya, jam sudah menunjukkan pukul 18.00.
Ayah Dr. Arun bertanya mengapa terlambat, tapi karena malu mengakui kalau habis nonton bioskop, Dr. Arun berbohong, menyalahkan mobil yang belum siap sehingga beliau harus menunggu. Sang ayah yang telah menelpon bengkel mobil tersebut tahu kalau anaknya berbohong. Namun beliau tidak marah, malahan berkata, "Ada sesuatu yang salah dalam membesarkan engkau sehingga engkau tidak memiliki keberanian menceritakan kebenaran pada ayah. Untuk menghukum kesalahan ayah ini, biarlah ayah pulang berjalan kaki sepanjang 18 mil dan memikirkannya baik-baik."
Lalu sang ayah mulai berjalan kaki. Hari sudah gelap dan jalanan sama sekali tidak rata. Dr. Arun tidak bisa meninggalkan ayahnya. Selama 5,5 jam, Dr. Arun mengendarai mobil perlahan-lahan di belakang ayahnya sambil memikirkan penderitaan yang dialami ayahnya karena kebohongan bodoh yang beliau lakukan.
Sejak saat itu Dr. Arun tidak pernah berbohong lagi. Seringkali beliau berpikir mengenai kejadian tersebut dan merasa heran. Seandainya sang ayah menghukumnya, sebagaimana kita menghukum anak-anak kita, apakah Dr. Arun akan mendapat pelajaran mengenai mendidik tanpa kekerasan? Kemungkinan Dr. Arun akan menderita atas hukuman, menyadarinya sedikit dan melakukan hal yang sama lagi. Tapi hanya dengan satu tindakan tanpa kekerasan yang sangat luar biasa, Dr. Arun merasa kejadian itu baru terasa seperti kemarin. Itulah kekuatan bertindak tanpa kekerasan.
Kalau kita renungkan ada beberapa kejadian dalam hidup kita yang menimbulkan kesan yang mendalam justru karena kita tidak dimarahi atas kesalahan dan kenakalan kita. Misalkan:
A. Saat kita masih kecil tanpa sengaja kita menjatuhkan piring / gelas kaca. Akibatnya kacanya bertebaran di lantai. Kita pasti merasa sangat ketakutan. Yuk coba kita renungkan 2 reaksi yang berbeda dari sang ibu:
1. Ibu yang pertama marah, memaki kita dengan kata-kata yang menyakitkan hati, memberi cap kita ceroboh, dasar anak nakal, makanya hati-hati, dsb. Apa reaksi kita? Ya memang sih kita salah, pantas dimarahin, tapi kenapa ibu sedemikian marahnya ya, tidakkah ibu melihat bahwa kita tidak sengaja? Apakah piring / gelas itu sebegitu berharganya, kenapa ibu tidak mempedulikan tangan / kaki kita yang terluka terkena pecahan kaca? Hati kita terasa perih.
2. Ibu yang kedua langsung lari mendekati, memeluk kita, menjauhkan kita dari pecahan kaca tersebut sambil bertanya, apakah ada bagian tubuh kita yang terluka. Aduh kamu pasti kaget ya, mana yang sakit, ada yang luka enggak, dsb? Bagaimana rasa hati kita? Ketakutan kita langsung memudar, digantikan oleh perasaan disayang, dihargai, dicintai. Diri kita terasa lebih berharga daripada piring / gelas tersebut. Hati kita terasa damai.
B. Saat kita pulang terlambat. Tentu orang tua akan merasa cemas, bingung, kuatir, dsb. Coba lihat perbedaan sambutan ini.
1. Orang tua yang pertama ini langsung memarahi kita, tanpa mau mendengar alasan dan penjelasan kita, langsung mengomel panjang lebar, menasehati, memarahi.
2. Orang tua yang kedua begitu melihat kita datang langsung terlihat lega, bangun memeluk dan mencium kita. Bertanya dengan nada sayang dan kuatir kenapa kita datang terlambat. Mereka menunjukkan kekuatirkan karena mereka benar-benar sayang dan peduli.
Nah dari 2 contoh di atas, orang tua manakah yang Anda inginkan? Kalau saya orang tua yang kedua. Kenapa? Karena saya merasakan kasih sayang yang tulus, merasakan bahwa diri saya berharga di mata orang tua kedua. Bagaimana dengan Anda?
Mungkin orang tua kita dulu tidak memperlakukan kita seperti itu. Tapi sekarang kita sebagai orang tua, apakah harus meniru contoh yang salah? Mendidik anak tanpa kekerasan seringkali justru lebih bisa menyadarkan kesalahan anak.
Kenapa bisa begitu? Karena ketika kita berhasil menancapkan suatu pesan yang sangat kuat di bawah sadar seorang anak maka informasi itu akan langsung mempengaruhi perilakunya. Itulah salah satu bentuk hypnosis yang sangat kuat. Apakah hal sebaliknya bisa terjadi? Ya bisa saja! Oleh karena itu kita perlu keyakinan penuh dalam melakukannya agar hasil positif yang kita inginkan bisa tercapai. Untuk itu diperlukan pemikiran yang mendalam dan kesadaran diri yang kuat dan terlatih. Jangan bertindak karena reaksi spontan belaka dan kemudian menyesal telah melakukannya.
Saat anak kita masih kecil, saat itulah semua bibit perilaku dan sikap ditanamkan. Hal ini yang kelak mewarnai kehidupan remaja dan dewasanya. Berarti sikap dan perilaku kita saat ini sangat dipengaruhi oleh bibit masa kecil kita. Orang tualah yang menanam segala bibit perilaku dan sikap itu.
Untuk anak yang diasuh baby sitter, ya pengasuh anak tersebut yang banyak mempengaruhi perilaku dan sikap anak. Jadi kita juga perlu berhati-hati, mencari pengasuh yang bijaksana agar dapat berpengaruh positif pada anak-anak kita.
Kalau kita memiliki anak yang nakal, susah diatur, dsb itu pasti karena ada suatu sebab. Segala perilaku, ucapan, sikap, dan pikiran yang baik maupun yang buruk hanyalah suatu rentetan akibat dari suatu sebab yang telah ditanamkan terlebih dahulu. Karena itu sebagai orang tua kita wajib mencari tahu penyebabnya. Jangan langsung bereaksi spontan tanpa mengetahui duduk persoalannya dan tanpa memikirkan akibatnya. Hal itu akan memberi contoh bagi anak kita tentang bagaimana bertindak dan bersikap.
Sekarang, saat kita menjadi orang tua, belajarlah dari pengalaman sebagai anak. Ingatlah apa yang kita harapkan saat peristiwa-peristiwa tertentu terjadi dalam hidup kita. Ingatlah perasaan kita dulu di masa kanak-kanak kita saat kita dimarahi padahal itu bukan murni kesalahan kita, saat kita dituduh melakukan kenakalan yang sebenarnya tidak kita perbuat, saat kita mendapat nilai jelek dan orang tua kita sangat marah, saat orang tua menghukum kita terlalu keras padahal kita berbohong karena takut dimarahi, dsb. Coba bayangkan kalau kejadian tersebut diputar ulang apa yang Anda inginkan terjadi? Seandainya orang tuaku bersikap seperti ini maka kejadiannya akan menjadi seperti .....
Nah sekarang belajar dari pengalaman masa kecil kita, coba amati dan tanggapi anak-anak kita dengan penuh perhatian, cari tahu apa yang mereka inginkan. Pengharapan, perlakuan dan pengakuan seperti apa yang kita inginkan dari orang tua kita dulu yang tidak terpenuhi? Sebagai orang tua, kita perlu mendidik diri kita sendiri dengan belajar dari anak-anak.
Buatlah pengalaman masa kecil kita sebagai pelajaran berharga. Perlakukan anak-anak kita seperti kita dulu ingin diperlakukan. Jangan perlakukan anak-anak seperti apa yang dilakukan orang tua pada kita. Contoh yang baik boleh kita tiru, tapi hal yang tidak baik harus kita ubah. Didiklah anak tanpa kekerasan agar mereka mengerti kalau dirinya berharga dan dicintai dengan tulus.
0 komentar:
Posting Komentar