Tulisan ini dibuat hanya sebagai wujud rasa simpati kepada ibu Prita Mulyasari yang saya anggap telah menjadi korban ketidakadilan di negeri tercinta ini dilihat dari kaca mata kemanusiaan. Berat rasanya kalau tidak di ungkapkan dan saya hanya berkaca pada diri pribadi bagaimana jika hal itu menimpa istri atau atau saudara kita. Akankah kita bisa menerima keadaan ini? apalagi jika dilihat seorang ibu dengan dua anak yang masih kecil harus mendekam di penjara hanya karena curhat di email tentang keluhanya di berobat di RS Omni International, Tangerang akan berkahir dengan kasus berkepanjangan. Semoga saja tulisan ini tidak menjadi boomerang buat saya dan terjerat UU ITE… Hik…...takuuut…...he he....
Saya kira inilah realita sesungguhnya dari tatanan hukum dinegeri ini yang mengakibatkan terenggutnya kebebasan mengeluarkan pendapat dan menunjukan betapa kuatnya orang besar dimata hukum sehingga dengan mudah dan tanpa kajian yang dalam, penyidikan terlebih dahulu langsung menggelandang ibu prita kedalam tahanan dan tanpa sempat berpamitan kepada kedua anaknya yang masih memerlukan ibunya bahkan saat di tahanan tidak di perbolehkan sejenak pulang untuk menjenguk anaknya…..?.
Tiga minggu dia dibui karena dianggap melanggar Pasal 310 KUHP tentang pencemaran nama baik dengan ancaman hukuman 1,4 tahun penjara, Pasal 311 KUHP tentang pencemaran nama baik secara tertulis dengan ancaman 4 tahun penjara, serta Pasal 27 Ayat 3 UU ITE dengan ancaman 6 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar. Ancaman pidana Pasal 27 Ayat 3 UU ITE itu tidak main-main. Ibu rumah tangga penulis e-mail itu diancam penjara hingga enam tahun! Busyeet ..Gilee bener sampai terjerat 3 pasal berlapis sekaligus.
Bersukurlah karena pada Rabu (3/6) sore, ibu Prita telah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang, meskipun berstatus tahanan kota karena masih menunggu sidang kasus pidananya yang akan mulai digelar di PN Tangerang pada Kamis (4/6).
Miris, marah dan geram jika menyimak rangkaian kejadian kasus ini dimana keadilan berpihak hanya kepada kaum yang kuat saja sedangkan yang kecil hanya bisa pasrah meratapi ketidak adilan ini.
Bila saja RS Omni mau lebih bijak menaggapi kasus ini, seharusnya, Rumah Sakit Omni Internasional melakukan peningkatan pelayanan atau memberikan hak jawab, bukan memperkarakan kasus pencemaran nama baik. Disinilah letak arogansinya dan bahkan seolah-olah tidak mau mengakui kesalahan.
Contoh kasus yang sama juga terjadi di Amerika Serikat tetapi penanganan kasusnya sangat bertolak belakang dengan Rumah Sakit Omni Internasional. Meskipun bukan kasus rumah sakit tetapi mungkin bia dijadikan cermin penanganan kasus tentang keluhan konsumen. Ketika itu, seorang profesor di Universitas Michigan, Jeff Ravis, menulis surat terbuka ke Michell Dell, pendiri Dell Computer.
Isi surat terbuka tersebut adalah keluhan pelayanan purnajual yang mengecewakannya. Dari Pihak Dell. Pihak Dell tidak memperkarakan Jeff, tetapi justru merekrut belasan orang untuk menangani keluhan tersebut.
Seharusnya, itu yang harus menjadi contoh bagi pelayanan publik, untuk memberikan layanan yang baik bagi konsumen dan keluhan melalui media elektronik seperti email atau internet seharusnya merupakan bagian dari tindakan kontrol masyarakat atas amburadulnya pelayanan publik di negara ini.
Sedangkan tentang UU ITE banyak kalangan menilai bahwa passal tetang pencemaran nama baik merupakan pasal karet atau sampah dan memang perlu mendapat revisi karena nantinya hanya akan memasung kretaifitas dan kebebasan bersuara serta hanya membungkam hak kemerdekaan mengeluarkan pendapat.
Hmmm....terlepas dari UU ITE, Kasus yang dialami Prita Mulyasari mencerminkan lemahnya perlindungan terhadap pasien. Pasien selama ini dimaknai hanya sebagai obyek industri kesehatan, bukan subyek yang harus dibantu. padahal UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjamin setiap warga negara sebagai konsumen untuk menyampaikan keluhannya. Apakah Pasien tidak sama dengan konsumen????
Kembali pada masalah penahanan, apakah ada unsur mafia peradilan yang terlibat disini sehingga para pemegang kekuasaan seperti kepolisian dan kejaksaan tidak memperhatikan hak-hak asasi manusia, hak anak, mengingat Ibu Prita masih mempunyai anak balita lalu mengambil tindakan sewenang-wenang? Entahlah…. masyarakat juga bisa menilainya sendiri dan semakin kritis karena telah banyak contoh akibat kesewenang-wenangan peradilan di negeri ini. Yang jelas sebenarnya masih banyak kasus serupa Prita yang belum terekspos kemuka publik karena ketidak berdayaan dan ketakutan sebagian besar masyarakat kecil jika harus berurusan dengan orang besar.
Beruntunglah ibu Prita bisa menulis email atau setidaknya melek tekhnologi sehingga masyarakat luas bisa mengetahui dan menilai bahkan bereaksi terhadap kasus ini. Semoga dukungan moril dari banyak pihak dapat membuka mata hati dan kemanusiaan para petinggi kita bagi masyarakat kecil yang membutuhkan keadilan .
Bagi Capres dan Cawapres semoga saja tidak dijadikan ajang menarik simpati dan tebar pesona serta kampenye terselubung aja ya he he….
Source image: www.ilovephilosophy.com
Saya kira inilah realita sesungguhnya dari tatanan hukum dinegeri ini yang mengakibatkan terenggutnya kebebasan mengeluarkan pendapat dan menunjukan betapa kuatnya orang besar dimata hukum sehingga dengan mudah dan tanpa kajian yang dalam, penyidikan terlebih dahulu langsung menggelandang ibu prita kedalam tahanan dan tanpa sempat berpamitan kepada kedua anaknya yang masih memerlukan ibunya bahkan saat di tahanan tidak di perbolehkan sejenak pulang untuk menjenguk anaknya…..?.
Tiga minggu dia dibui karena dianggap melanggar Pasal 310 KUHP tentang pencemaran nama baik dengan ancaman hukuman 1,4 tahun penjara, Pasal 311 KUHP tentang pencemaran nama baik secara tertulis dengan ancaman 4 tahun penjara, serta Pasal 27 Ayat 3 UU ITE dengan ancaman 6 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar. Ancaman pidana Pasal 27 Ayat 3 UU ITE itu tidak main-main. Ibu rumah tangga penulis e-mail itu diancam penjara hingga enam tahun! Busyeet ..Gilee bener sampai terjerat 3 pasal berlapis sekaligus.
Bersukurlah karena pada Rabu (3/6) sore, ibu Prita telah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang, meskipun berstatus tahanan kota karena masih menunggu sidang kasus pidananya yang akan mulai digelar di PN Tangerang pada Kamis (4/6).
Miris, marah dan geram jika menyimak rangkaian kejadian kasus ini dimana keadilan berpihak hanya kepada kaum yang kuat saja sedangkan yang kecil hanya bisa pasrah meratapi ketidak adilan ini.
Bila saja RS Omni mau lebih bijak menaggapi kasus ini, seharusnya, Rumah Sakit Omni Internasional melakukan peningkatan pelayanan atau memberikan hak jawab, bukan memperkarakan kasus pencemaran nama baik. Disinilah letak arogansinya dan bahkan seolah-olah tidak mau mengakui kesalahan.
Contoh kasus yang sama juga terjadi di Amerika Serikat tetapi penanganan kasusnya sangat bertolak belakang dengan Rumah Sakit Omni Internasional. Meskipun bukan kasus rumah sakit tetapi mungkin bia dijadikan cermin penanganan kasus tentang keluhan konsumen. Ketika itu, seorang profesor di Universitas Michigan, Jeff Ravis, menulis surat terbuka ke Michell Dell, pendiri Dell Computer.
Isi surat terbuka tersebut adalah keluhan pelayanan purnajual yang mengecewakannya. Dari Pihak Dell. Pihak Dell tidak memperkarakan Jeff, tetapi justru merekrut belasan orang untuk menangani keluhan tersebut.
Seharusnya, itu yang harus menjadi contoh bagi pelayanan publik, untuk memberikan layanan yang baik bagi konsumen dan keluhan melalui media elektronik seperti email atau internet seharusnya merupakan bagian dari tindakan kontrol masyarakat atas amburadulnya pelayanan publik di negara ini.
Sedangkan tentang UU ITE banyak kalangan menilai bahwa passal tetang pencemaran nama baik merupakan pasal karet atau sampah dan memang perlu mendapat revisi karena nantinya hanya akan memasung kretaifitas dan kebebasan bersuara serta hanya membungkam hak kemerdekaan mengeluarkan pendapat.
Hmmm....terlepas dari UU ITE, Kasus yang dialami Prita Mulyasari mencerminkan lemahnya perlindungan terhadap pasien. Pasien selama ini dimaknai hanya sebagai obyek industri kesehatan, bukan subyek yang harus dibantu. padahal UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjamin setiap warga negara sebagai konsumen untuk menyampaikan keluhannya. Apakah Pasien tidak sama dengan konsumen????
Kembali pada masalah penahanan, apakah ada unsur mafia peradilan yang terlibat disini sehingga para pemegang kekuasaan seperti kepolisian dan kejaksaan tidak memperhatikan hak-hak asasi manusia, hak anak, mengingat Ibu Prita masih mempunyai anak balita lalu mengambil tindakan sewenang-wenang? Entahlah…. masyarakat juga bisa menilainya sendiri dan semakin kritis karena telah banyak contoh akibat kesewenang-wenangan peradilan di negeri ini. Yang jelas sebenarnya masih banyak kasus serupa Prita yang belum terekspos kemuka publik karena ketidak berdayaan dan ketakutan sebagian besar masyarakat kecil jika harus berurusan dengan orang besar.
Beruntunglah ibu Prita bisa menulis email atau setidaknya melek tekhnologi sehingga masyarakat luas bisa mengetahui dan menilai bahkan bereaksi terhadap kasus ini. Semoga dukungan moril dari banyak pihak dapat membuka mata hati dan kemanusiaan para petinggi kita bagi masyarakat kecil yang membutuhkan keadilan .
Bagi Capres dan Cawapres semoga saja tidak dijadikan ajang menarik simpati dan tebar pesona serta kampenye terselubung aja ya he he….
Source image: www.ilovephilosophy.com
0 komentar:
Posting Komentar