… mengubah batu penyandung menjadi batu pijakan …
Di akhir masa Dinasti Qing, di Distrik Zhabei, Shanghai, terdapat sebuah toko kue dodol nanas yang sangat laris. Nama toko yang terpampang dalam papan nama adalah Tian Zhi Dao (Langit Tahu).
Di seberang Toko Tian Zhi Dao terdapat sebuah toko buah dengan pemilik bermarga Yu. Cikal bakal berdirinya Toko Tian Zhi Dao berawal dari toko buah ini.
Tahun 1892, Toko Buah Yu mengangkut 50 keranjang nanas dari Laiyang (Shandong) ke Shanghai. Karena perjalanan yang jauh dan deraan hujan, setiba di tempat tujuannya nanas-nanas itu mulai membusuk. Mesti telah dianginkan, dijemur, dan dikupas kulitnya, nanas-nanas itu tetap tak terjual.
Di seberang Toko Buah Yu ini ada sebuah toko kecil yang dihuni oleh sepasang suami istri. Kebetulan sekali mereka sedang tidak memiliki sesuatu pun untuk dimakan, sehingga ketika melihat Toko Yu membuang demikian banyaknya nanas busuk, mereka segera memungutnya. Setelah dikupas dan dibuang bagian yang busuk, mereka memotong nanas dalam potongan kecil dan menjualnya seharga satu keping uang untuk lima potong. Bisnis ini berjalan lancar.
Suami istri ini kemudian membeli nanas busuk sekeranjang demi sekeranjang dari Toko Yu. Karena sudah membusuk, Toko Yu dengan senang hati menjualnya meski secara murah. Setelah membeli banyak, mereka memasukkan nanas yang telah dikupas ke dalam tempayan dan mencampurnya dengan gula. Dengan demikian nanas itu menjadi lebih lezat dan terjual dengan laris. Beberapa waktu kemudian, suami istri ini membeli banyak nanas busuk dari berbagai tempat. Setelah dikupas, nanas-nanas itu mereka masukkan dalam panci untuk diproses menjadi sari buah nanas yang kemudian diolah menjadi kue dodol nanas. Saat musim semi, yang bukan saatnya musim nanas, orang tidak dapat menemukan nanas untuk dimakan, sehingga kue dodol nanas menjadi penggantinya. Dalam waktu singkat kue dodol nanas ini menjadi makanan khas daerah Tiongkok Selatan.
Tahun berikutnya, perdana menteri kerajaan melakukan inspeksi ke Zhabei, Shanghai, dan membeli kue dodol nanas itu. Rasanya manis dan asam, sangat nikmat sekali. Karena itu membawanya pulang ke Beijing dan mempersembahkannya kepada Ibu Suri Cixi. Waktu itu Ibu Suri Cixi kebetulan sedang dalam keadaan batuk. Cixi juga menyukai aromanya. Dengan segera Cixi memerintahkan sepasang suami istri itu untuk mengirimkan kue dodol nanas ke Beijing. Kali ini, kedua suami istri itu benar-benar ketiban bulan, bisnis mereka dengan segera melejit, mereka secara resmi membuka toko kue dodol nanas.
Kesuksesan ini memancing keingintahuan pemilik Toko Yu, yang kemudian menelusurinya dan akhirnya tahu bahwa kue dodol nanas itu terbuat dari nanas busuk. Yu ini menjadi iri dan tidak suka karenanya, namun karena takut menyinggung perasaan pihak kerajaan, di malam harinya ia menulis tiga aksara “Tian Zhi Dao” (Langit Tahu) lalu menempelnya di pintu toko kue dodol nanas.
Esok harinya sepasang suami istri melihat tulisan ini. Mereka terperanjat, tahu kalau ada orang yang ingin merusak bisnis mereka. Sang suami kemudian tertawa terbahak-bahak sambil berucap, “Saya kebetulan sedang berpikir mencari nama toko, hari ini ada orang yang menuliskan nama toko dan mengirimnya ke depan pintu bagus sekali, bagus sekali.
Kaisar juga pernah memakan kue dodol nanas tokoku, Kaisar adalah Putra Langit di masa ini, jadi sudah seharusnya kalau memakai nama ‘Tian Zhi Dao’.
Oke, saya gunakan tiga aksara ini sebagai nama toko!” Papan nama toko ditulisnya dengan huruf yang sangat besar. Para pembeli yang bertanya dengan segera mengetahui kalau Kaisar dan Ibu Suri sangat menggemari kue dodol nanas tersebut. Akibatnya bisnis kue dodol nanas ini menjadi semakin melejit. Upaya pemilik Toko Yu bukan saja gagal, justru membuat bisnis kue dodol nanas makin melambung, tulisan sindirannya malah dipakai sebagai nama toko. Yu menjadi berang karenanya. Selanjutnya pada dinding toko nanas itu dilukisnya seekor kura-kura yang menyembunyikan kepala di dalam tempurung dengan disertai tulisan: “Tidak tahu malu” Keesokan harinya, melihat lukisan kura-kura ini, sepasang suami istri itu terdiam, namun sejenak kemudian berucap secara bersamaan, “Kita gunakan kura-kura sebagai logo produk. Kue dodol nanas dapat menyembuhkan batuk dan memperpanjang usia. Kura-kura adalah hewan yang panjang usianya.” Sejak itu, logo kura kura menjadi logo yang terkenal di Shanghai.
Dari kisah ini dapat kita simak, apa yang dinamakan pandai itu? Dapat mengubah setiap kegagalan dan gangguan menjadi peluang, menghindari kerugian dan melangkah menuju pada keuntungan, meski orang lain menginjak kita namun berhasil memanfaatkan peluang singkat saat kakinya beranjak dengan menangkap tali sepatunya untuk bangkit berdiri, itulah yang dinamakan pandai! Bukan saja pandai, tapi sangat pandai, luar biasa pandai!
Inspirasi Kita: (oleh: Tjahyono Wijaya)
Dhammapada mengatakan: “Ia menghina saya, ia memukul saya, ia mengalahkan saya, ia merampas milik saya. Selama seseorang masih menyimpan pikiran-pikiran semacam itu, maka kebencian tak akan
pernah berakhir.”
Dhammapada juga mengatakan: “Kebencian tidak akan pernah berakhir apabila dibalas dengan kebencian, tetapi kebencian akan berakhir bila dibalas dengan tidak membenci. Inilah hukum abad.”
Bagi kebanyakan orang, ucapan Buddha dalam Dhammapada itu lebih cenderung hanya berfungsi sebagai lip service daripada pelaksanaan nyatanya.Benarkah kalau kita dihina atau dipukul terus tidak perlu membalas? Mampukah kita menerima kebencian dari orang lain dengan tanpa bereaksi?
Pernah ada sebuah artikel yang menuliskan tentang Teori Bola Buruk dan Bola Baik. Teori ini sederhana saja, diangkat dari permainan bisbol (baseball), namun bermakna sangat dalam. Bagian terpenting dari permainan bisbol adalah
pertarungan antara pelempar (pitcher) melawan pemukul (batter). Pelempar melempar bola secermat dan sebaik mungkin agar masuk ke bidang sasaran di atas home plate,sedang pemukul berdiri disisi home plate dan berusaha memukul bola dengan tongkat pemukul. Jika pelempar tidak melempar bola di luar bidang sasaran di atas home plate dan pemukul tidak bereaksi, wasit akan berteriak “ball!” Jika pelempar terus melempar bola di luar bidang sasaran di atas home plate sebanyak 4 kali dan selama itu pemukul tidak memukul lemparan bola itu, wasit berteriak “ball four!”, lalu pemukul boleh bebas berjalan (“walk”) ke base pertama.
Jadi kita tahu, pemukul yang baik tidak akan memukul setiap lemparan bola yang datang, apalagi kalau itu adalah bola buruk yang berada di luar bidang sasaran. Dengan kata lain, kalau yang datang adalah bola buruk, untuk apa kita
harus bereaksi? Memukul bola buruk hanya akan menghasilkan pukulan yang buruk, bahkan ada kemungkinan bisa dimatikan oleh pihak lawan. Demikian pula dengan hinaan, gangguan, serangan, dan semua aksi yang bersifat negatif, semua itu ibaratnya lemparan bola buruk, kita tak perlu membalasnya, biarkan semua itu berlalu dengan sendirinya. Bola buruk, jangan ditanggapi; bola baik, berikan respon yang baik dan sekuat mungkin! Tapi dalam kondisi yang lain, kita juga bisa bereaksi seperti halnya kisah kue dodol nanas di atas. Kita berupaya mengubah batu penyandung menjadi batu
pijakan, sehingga alih-alih tersandung, kita justru menjadi lebih tinggi dari sebelumnya. Jadi, persoalannya bukan harus membalas atau tidak, melainkan reaksi membalas atau tidak itu perlu didasarkan pada kebijaksanaan yang sesuai
dengan kondisi yang ada. Dengan kata lain, tujuan kita bukan membalas atau tidak, melainkan berusaha menyelesaikan masalah dengan bijaksana, atau setidaknya jangan mengikat hubungan karma buruk dengan orang lain karena kita bukan sedang bertarung di atas ajang pelampiasan emosi kebencian. Kalau serangan yang kita terima dipandang layak untuk dibalas dan masalah bisa terselesaikan oleh karenanya, maka balaslah, karena itu bukan bola buruk, itu tak lebih hanyalah bola sulit, yang sudah tentu memerlukan sedikit usaha untuk mengatasinya. Akhir kata, entah apapun reaksi apa yang akan kita ambil, bereaksi dengan bijaksana, atau dengan bijaksana tidak bereaksi sama sekali, semua itu harus diakhiri dengan cara tidak membenci. Inilah tingkatan tertinggi yang diajarkan Buddha, yang masih sulit dilaksanakan oleh umat awam, yang harus menjadi tuntunan dan tujuan kita agar dapat bersama-sama menciptakan masyarakat yang
berbudi luhur, santun dan welas asih.
Master Hanshan bertanya pada Master Shide, “Di dunia ini ada orang yang memfitnah saya, mengganggu saya, menghina saya,menertawai saya, meremehkan saya, melecehkan saya, berbuat buruk terhadap saya, menipu saya, bagaimana menghadapinya?” Shide menjawab, “Bersabarlah, mengalahlah, biarkanlah, hindarilah, bertahanlah, hormatilah, jangan pedulikan, tunggu beberapa tahun kemudian, kamu lihat bagaimana sikapnya terhadapmu.”
0 komentar:
Posting Komentar