Saya sedang duduk sendiri, merenung…ketika saya mendengar bisikan hati untuk menuliskan ini. Saya duduk di depan computer (ya iyalah masa di belakang) dan jari-jari mulai menari indah di atas pentas tuts keyboard. Menyusun huruf, mengukir kata, menciptakan kalimat yang saya sendiri pun tidak tahu harus bagaimana memaknainya. Kata-kata keluar begitu saja… dan jadilah tulisan ini. Maafkan saya jika hati anda tidak sependapat. Silahkan memungut makna di antara uraian kata… jika itu ada.
Akhirnya…
* * *
SEBUAH RENUNGAN
Setiap melihat tanaman padi saya selalu teringat akan rumah di desa. Teringat akan keluarga, teman-teman dan masa kecil yang penuh kebahagiaan.
Teringat bagaimana kami berlari berkejaran di atas pematang sawah. Sedangkan di belakang kami, orang tua berteriak keras, memperingatkan kami untuk tidak berkejaran di atas pematang sawah. Karena pematang lebarnya tidak seberapa, kami sering jatuh terbanting bermandikan lumpur.
Namun, kami kadang tidak menghiraukan larangan orang tua. Kalau terjatuh, kami akan menangis sebentar menahan sakit. Kemudian tertawa lagi dan kembali berkejaran. Bersembunyi di antara rumpun padi. Menangkap belalang yang hinggap di bulir-bulir padi yang mulai menguning. Artinya sebentar lagi masa panen akan tiba.
Bosan menangkap belalang, kami mulai mengalihkan perhatian pada ikan-ikan kecil di parit. Kami menghalangi air, membendungnya. Badan bermandikan Lumpur. Hitam semuanya. Yang kelihatan putih hanya bola mata dan gigi.
Ketika membendung air di parit kecil tersebut, kami membayangkan sedang membangun suatu bendungan besar. Dan kami adalah tenaga ahli yang hebat yang didatangkan dari Belanda. Hal itu dipengaruhi oleh cerita orang tua kami tentang bendungan besar di desa kami yang dibangun oleh Bruder-Bruder, Misionaris dari Belanda.
Merasa diri sebagai orang Belanda, kami mulai berbicara bahasa yang aneh. Bahasa Belanda, versi kami sendiri. Kedengarannya sangat aneh, bahkan untuk telinga kami sendiri. Tapi kami tidak peduli.
Ketika ada orang dewasa yang lewat, mereka akan tertawa terbahak-bahak melihat aksi kami. Tapi kami sendiri tidak merasa malu atau pun merasa aneh. Kami malah ikut menertawakan diri kami sendiri. Semuanya dilakukan dengan penuh kebahagiaan. Hidup terasa sangat indah.
Ketika merasa lapar, kami mendatangi orang tua kami sedang bekerja dan meminta makan. Tanpa rasa malu atau takut akan dimarahi. Pokoknya kalau lapar, ya minta makan. Hanya itu tugas seorang anak kecil. Makan dan bermain. Sungguh menyenangkan.
Lalu, perlahan kita tumbuh dewasa. Kita mulai dipenuhi dengan berbagai harapan dan cita-cita. Impian yang harus diraih. Kita mulai memupuk harapan. Orang tua tidak ketinggalan juga ikutan memberi beban harapan di pundak kita.
Perlahan tapi pasti, kita mulai menanggalkan kebahagiaan masa kanak-kanak kita, satu per satu. Digantikan oleh nilai ulangan yang harus semakin baik dan tetap baik. Kalau hari ini dapat nilai enam, maka besok harus dapat delapan bahkan sepuluh. Kalau sudah dapat nilai sepuluh harus tetap sepuluh. Kalau satu mata pelajaran sudah dapat nilai sepuluh, pelajaran lain juga harus sama.
Kebahagiaan yang kita dapatkan di masa kanak-kanak dengan bermain, kini diganti dengan nilai ujian dan ulangan yang memuaskan. Memuaskan keinginan orang tua. Kita mulai sibuk membuat orang lain bahagia. Akhirnya kita lupa akan kebahagiaan kita sendiri.
Kemudian kita mulai bekerja. Sekarang kita sibuk membahagiakan bos dengan prestasi kerja yang memenuhi harapan bos. Sekali lagi, kita lupa akan kebahagiaan kita. Lalu kita mengeluh tidak bahagia.
Berharap dan bercita-cita adalah hal yang wajar. Bahkan…dengan pengelolaan yang baik, harapan dan cita-cita akan mendatangkan kebahagiaan. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah harapan siapa yang kita perjuangkan. Apakah itu adalah harapan kita sendiri.
Hal yang membuat kita tidak bahagia juga dipengaruhi oleh harapan yang (kalo boleh saya sebut) tidak realistis. Kita ingin hanya kebaikan dan menolak keburukan. Kita hanya ingin sukses dan membuang kegagalan. Seperti syair lagunya Sheila On 7, “Mengapa harus ada hitam jika putih itu menyenangkan.”
Baik dan buruk, sehat-sakit, sukses-gagal, positif-negatif, semuanya selalu beriringan yang membentuk sebuah keseimbangan. Semuanya membuahkan makna yang harus kita petik. Kemelekatan pikiran kitalah yang membuat kita gagal mengenali buah-buah ranum berisi makna kehidupan dalam setiap kejadian.
Ketika kita kembali menoleh ke belakang, kita akan menjumpai semua kejadian yang telah kita alami adalah indah. Jika kita melihatnya dengan penuh kesadaran diri. Semuanya terjalin rapi, membentuk diri kita yang sekarang ini. Kalau kita bisa melihat keindahan dari semua kejadian di masa lalu, bukankah keindahan juga ada saat kita sedang mengalaminya? Bahkan dalam gagal, sedih, susah, menderita, terluka, dikhianati.
Ternyata keindahan juga bersembunyi di dalam kejadian “negative” itu. Kalau begitu… masih-kah kita menolak……
* * *
Semoga bermanfaat.
Terima kasih
Hermanus Y Lobo
0 komentar:
Posting Komentar